resensi

Resensi “Dorothy Must Die”

Siapa di sini yang kenal dengan Dorothy dari “The Wizard of Oz”? Pasti tidak asing kan. Nah, “Dorothy Must Die” karya Danielle Paige mengambil kisah klasik yang digemari dan mengubahnya, mengungkap alternatif suram untuk pahlawan yang ikonik. Judul Buku: Dorothy Must Die Penulis: Daniella Paige Penerbit: HarperCollins Tahun Terbit: 2014 Jumlah Halaman: 452 Amy Gumm, seorang gadis dari Kansas yang tidak begitu istimewa. Di sekolah, dia merasa diasingkan dan sering menjadi sasaran intimidasi. Ibunya tampak acuh tak acuh terhadapnya setelah ayahya meninggal, dan dia merasa benar -benar terisolasi. Suatu hari, sebuah pusaran menyerang Kansas dan membawanya ke negeri Oz. Namun, Oz bukan ranah yang penuh dengan keajaiban luar biasa seperti yang digambarkan. Di sini dia menemukan dunia yang dikuasai Dorothy, gadis yang baik hati, kini menjadi haus kekuasaan dan kejam. Dia menguasai Oz sesuka hatinya, mengeksploitasinya semata -mata untuk keuntungan pribadi. Amy yang hanya ingin pulang ke rumah, kini terjebak. Dia bertemu dengan kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan Dorothy dan mengembalikan Oz seperti semula. Amy harus beradaptasi dengan dunia sihir, dan menemukan bakat terpendam dalam dirnya demi bertahan. Sekarang dia hanya memiliki satu misi penting; membunuh Dorothy. Hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Danielle Paige berhasil mengubah perspektif kita tentang karakter yang sudah dikenal. Dorothy yang dulunya kita anggap sebagai pahlawan, kini menjadi sosok antagonis yang menakutkan. Sama seperti tokoh pemberontak, dalam cerita “The Wizard of Oz”, mereka digambarkan sebagai antagonis. Namun, saat kebaikan menjadi jahat, bahkan para Wicked tidak terlihat segitu kejamnya. Gaya penulisan Paige sangat mengalir dan mudah dipahami. Dia berhasil menciptakan suasana yang mendebarkan, membuat kita terus ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setiap bab penuh dengan kejutan dan ketegangan, sehingga sulit untuk meletakkan buku ini. Meskipun ada beberapa bagian yang terasa lambat, semua itu penting demi character building. Selain itu, karakter-karakternya juga relatable. Sang tokoh utama kami, Amy Gumm, bagaimana bisa kita tidak menyukainya. Dia berani, penuh antusiasme, insecure, dan yang paling penting, realistis. Bukan seperti tipikal tokoh utama yang sudah memiliki segalanya, dia tokoh yang justru tidak memiliki apa-apa. Amy, dengan semua kecemasannya membuat kita merasa lebih dekat dengannya. Beberapa kali Amy terjebak dalam situasi di mana arahan diberikan kepadanya, tapi dia selalu membuat keputusannya sendiri dan memetakan jalan. Dari situlah aku mulai menyukainya, karena motivasi Amy selalu tertuju pada membantu orang lain. Secara keseluruhan, buku “Dorothy Must Die” adalah bacaan yang memikat yang menawarkan sentuhan unik pada karya klasik yang sudah populer. Danielle Paige membuat narasi yang menarik dan substansial, menyelidiki motif tentang otoritas, kepribadian, dan dikotomi moralitas dan kedengkian. Kalau kamu menyukai cerita fantasia tau pertualangan yang sedikit gelap, buku ini wajib dibaca sih! Selamat membaca! Oleh Zahra Nafisa Syu’la Laili

Resensi “Dorothy Must Die” Read More »

Resensi “Serangkai” Valerie Patkar

Dengan penampilan sampul yang didominasi warna ungu gelap dan merah muda, barangkali kebanyakan orang akan menyimpulkan bahwa “Serangkai” kepunyaan Valerie Patkar membahas penuh mengenai romansa. Pandangan tersebut tidak salah, tetapi pembahasan di dalamnya lebih dari sekadar roman picisan. “Serangkai” mengangkat tema besar luka dan kehilangan. Judul Buku       : Serangkai Penulis             : Valerie Patkar Penerbit          : Bhuana Ilmu Populer Tahun Terbit   : 2021 Jumlah Halaman: 400 Kisah dibuka dengan kemunculan Kai Deverra yang spektakuler. Bagaimana tidak? Kai Deverra adalah seorang pembalap F1 yang mewakili tanah air dalam pagelaran balapan di Zandvoort, Belanda. Pembalap andalan BehIND itu rupanya masih tenggelam dalam pikirannya di tengah kencangnya laju kendaraan balap di lintasan. Bukannya tanpa alasan, tapi tak lain karena mantan kekasih sang Pembalap baru saja mengirimkan surat undangan pernikahan kepadanya setelah bertahun-tahun lalu Kai Deverra ditinggalkan, diselingkuhi oleh wanita itu. Serangkaian hal yang tidak berjalan sesuai dengan rencana, nyatanya justru mempertemukan Kai dengan seorang medis perempuan baru, Divas. Hubungan dokter dan pasien antara Kai dengan Divas pada mulanya tidak berjalan dengan baik, meskipun Divas menangani Kai dengan baik setelah adanya insiden di lapangan balap. Dari sudut pandang Kai, Divas terlalu kasar sebagai dokter, terlalu semena-mena. Dari sudut pandang Divas, Kai keras kepala, tapi justru terlihat lemah dengan memaksakan diri mengatakan dirinya baik-baik saja. Pada kenyataannya, sikap sok kuat yang ia terus komentari dari diri Kai, justru ada pada diri Divas sendiri. Sudah cukup lama, Divas terus menyalakan rokok, meskipun ia tidak merokok. Pukul enam sore seakan menjadi waktu yang sakral bagi Divas. Ditemani gummy bear warna-warni dan airpods yang menyumpal kupingnya, ia akan melamun, mendengarkan lagu “Kasih Tak Sampai” oleh Padi. Divas menolak berlama-lama berada di rumah yang dipenuhi kebahagiaan palsu selepas hilangnya sosok sang Kakak, Zacchio, dari hidup mereka. Kai dan Divas sepakat bahwa keduanya tidak menyukai satu sama lain selepas kejadian di Zandvoort. Keduanya tidak ingin terlibat lebih jauh. Tapi takdir selalu mengejutkan dengan segala permainannya. Kai dan Divas justru bertemu lagi, jauh dari Zandvoort, di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Kai dalam proses terapinya, Divas sebagai asisten dokter. Masih dibuai dalam permainan takdir yang mengikat keduanya, Kai kemudian menemukan bagaimana Divas termenung dalam lamunnya di ruangannya setiap pukul enam sore, meski si perempuan terus mengusir Kai dengan mengatakan bahwa ia sibuk. Kai menemukan ketenangan, kelegaan dalam hatinya justru selepas dihunjam kata-kata yang tak dapat disebut lembut dari Divas. Kai, dalam prosesnya ketika ia menemukan luka dalam diri Divas, berharap ia bisa menjadi obat layaknya kata-kata Divas yang menjadi obat bagi dirinya. Valerie Patkar melakukan pekerjaan hebat dalam menuangkan emosi dalam setiap lembar “Serangkai”. Gaya bahasa kekinian beresonansi dengan baik dengan jiwa-jiwa muda pengguna kata ganti “lo-gue”, meskipun pergantian maju-mundur linimasa terasa sedikit membingungkan karena terkesan melompat-lompat. Pembangunan masing-masing karakter juga terasa nyata, seakan Kai, Divas, Zacchio, Dhika, dan karakter-karakter lainnya itu memang merupakan orang-orang sungguhan dengan kisah yang sungguh terjadi, nun jauh di suatu sudut bumi. Pada akhirnya, “Serangkai” bukan milik Kai. “Serangkai” bukan milik Divas. “Serangkai” mengisahkan bagaimana kehilangan mungkin memang menciptakan luka pada setiap diri dan menjadi suatu fase yang tak perlu cepat-cepat dilewati atau ditutup dengan kasar. Luka itu mungkin perlu dinikmati sementara waktu, sembari merasakan perihnya hati yang menggerogoti raga dan pikiran, sembari merasakan asin air mata, sembari menunggu sosok yang tepat untuk kemudian bersama-sama sembuh dari luka. Oleh Manikam Mutiara Pertiwi

Resensi “Serangkai” Valerie Patkar Read More »