Hilang di Awan
Aku bersekolah di suatu SMA negeri di Hokkaido, Jepang. Hari-hari yang kujalani terasa berat. Setiap hari, aku hanya bisa menatap mejaku yang dipenuhi dengan coretan-coretan teman-teman sekelasku. Tetapi, setidaknya pemandangan pantai di luar jendela bisa menghiburku. KRRRINGGGGGG… KRRIIIINGGGGG… Dering lonceng istirahat telah berbunyi. Hanya ingin memakan bekalku pun aku tidak tenang. Gerombolan cewek-cewek itu tetap menggangguku. “Hei, bocah! Kenapa sekarang nasimu basah?” kata Horimi dengan nada mengejeknya. Ya, dia adalah ketua dari geng cewek-cewek itu, seorang gadis popular di angkatanku. Horimi cantik, tapi tidak dengan hatinya, “Apa yang kau mau, huh?” balasku, berusaha untuk melawannya. “Aku hanya melihat nasimu cukup kering. Hanya itu.” Setelah itu, mereka pergi begitu saja dengan langkah sombong. Tetap kulanjutkan memakan nasi yang sudah disiram itu. Nasi ini cukup aneh rasanya. Coba kalian bayangkan memakan nasi yang dicampur dengan cokelat? Ew! Menjijikkan! Meskipun begitu, mau tidak mau aku tetap memakan nasi itu. Begitulah hari-hariku terus berlalu, tanpa teman, selalu diejek, dipandang sebagai ‘Si Gadis Pendiam’. Kenapa mereka selalu melihat fisikku saja? Menurutku fisikku ini hanyalah suatu perubahan pubertas yang disebabkan oleh hormone. Nilai-nilaiku pun tidak seburuk nilai mereka. Tapi, jika boleh jujur, kehidupan sekolah justru lebih baik daripada di rumah. Ibu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Setiap malam, yang kudengar hanyalah pertengkaran mereka. Tentu saja itu bukanlah urusanku, tetapi dampaknya tetap sampai padaku. Perlakuan mereka padaku pun cukup kasar. Mereka memukul, membentak, dan tak sekalipun terasa menyayangiku. *** “Kyamii, kau sudah pulang?” Tanya ibuku dengan sangat lembut. Aku merasakan ada yang aneh pada ucapan Ibu. Saat aku menoleh kepadanya, aku melihat beberapa lebam di tangan dan kakinya. Yang paling mengerikan, dia membawa teko berisi air mendidih. Mataku seketika terbelalak. Ibu menyiramkan air mendidih itu kepadaku. Untungnya, aku dapat menghindar dengan cepat, meskipun tetap saja lengan kananku terkena imbasnya. “Ibu sudah gila?!” teriakku. “Di mana Ayah?!” Aku segera berlari ke luar rumah, mendekat ke arah bendungan. Kusiramkan air keran pada lengan kananku. Setelahnya, aku duduk di rerumputan dan mengembuskan napas. “Huft… Semua orang gila.” Lengan kananku masih perih akibat air mendidih yang disiramkan oleh Ibu kepadaku tadi. Dalam renunganku tentang kejadian yang tak pernah kusangka tadi, kudengar samar-samar percakapan orang lain, tak jauh dari tempatku duduk. “Ayo, Nak, sudah mau malam. Waktunya pulang. Tadi ibu masak sup miso dengan ikan tuna.” Suara tersebut mematahkan kebengonganku. Aku menoleh. Suara itu ternyata ibu dari seoorang anak yang sedang bermain di samping bendungan. Air mataku bercucuran tidak keruan. Kenapa??! Kenapa hidupku harus seperti ini??? Sebenarnya aku ini siapa?! Seorang anak di luar nikah? Anak haram? Kehidupan sekolahku hancur. Kehidupanku di rumah seperti neraka. Sebetulnya aku ini apa???! Menatap gumpalan awan-awan dan langit berwarna oranye, aku mulai tersadar bahwa kepribadianku adalah potongan-potongan dari kepribadian orang lain. Hidupku juga hanya diatur oleh orang lain tanpa pernah melawan. Langit semakin gelap diikuti angin yang berembus kencang. Bulan mulai terlihat. Semuanya telah berganti, tapi tidak dengan Sang Awan. Dia tetap berada di sana, siang dan malam, meskipun bisa menjadi awan hitam. Aku mulai kelaparan. Aku merogoh kantungku, “Lumayan, 1000 yen.” Aku pergi ke supermarket terdekat untuk membeli ramen instan dan cokelat panas sebagai obat lapar. Untunglah besok hari Sabtu, jadi aku tidak masuk sekolah. Aku sempat ketiduran di kursi supermarket selama beberapa jam. Saat aku terbangun, aku memberanikan diriku untuk pulang ke rumah. Aku membuka pintu rumah. Rumah terasa sunyi. Aku naik ke lantai atas dan berusaha untuk tidur. Tidurku terganggu oleh suara mereka lagi, suara pertengkaran yang tak pernah berhenti. *** Hari ini adalah hari pengumuman ranking. Aku berada pada ranking 1 di kelas dan ranking 5 paralel. Tetapi sayangnya, ada yang benci karena aku mendapatkan ranking atas lagi. Mereka membicarakan tentang mengapa gadis seperti aku bisa mendapatkan peringkay atas. Mereka bahkan menyebarkan hoaks. Tetapi Amane menyelamatiku, “Selamat ya, Kyamii.” Amane adalah murid yang rankingnya pas di bawahku. Aku membalas ucapannya dengan ujaran terima kasih yang sangat pelan. Sejujurnya, dia adalah teman sekelas yang sangat baik. KRRRRIIIIINGGGG… KRRIIIIINNNGGGG… Bunyi dering bel menandakan jam ke-2, yaitu jam pelajaran olahraga. Semua mata masih melihatku dengan sinis, tapi aku tidak peduli. Semua berjalan lancar sampai ketika aku berlari, beberapa gadis itu menarik tali yang sengaja mereka siapkan agar aku terjatuh. “Aaah!!” pekikku. Tiba-tiba, ada seorang cowok yang menarikku berdiri, “Kau tidak apa-apa?” katanya. Saat aku mendongak, ternyata dia adalah pacarnya Horimi. Aku langsung bangkit dan pergi. Para gadis itu langsung mengadukan kejadian barusan kepada Horimi, tentu saja. *** “Aaak! Lepaskan aku!” teriakku. Rambutku dijambak, kepalaku diseret dan dimasukkan ke dalam lubang toilet. “Berani sekali kau caper1 ke pacarku?!” bentak Horimi dengan kasar. Di sana, aku dibully oleh mereka. Ini sangat menyakitkan. Hampir setengah jam berlalu, badanku sakit semua. Aku mengganti pakaian olahragaku dengan seragam biasa, kemudian masuk kelas seolah tak terjadi apapun. Coretan di mejaku semakin banyak, bahkan mereka sekarang menyebarkan hoaks kalau aku ini seorang pelakor2. *** Pekan proyek sudah hampir tiba. Kami semua menyiapkannya satu kelas supaya kelas kami juara. “Temui aku di jembatan belakang sekolah jam 7 malam,” secarik kertas di laciku berujar, tetapi persiapan proyek ini sampai pukul 8 malam, jadi aku izin kepada ketua kelas untuk pergi sebentar. Aku menunggu orang itu selama beberapa menit, tapi dia tak kunjung datang. Ding. Lampu di sekitarku tiba-tiba padam. Aku mulai sadar kalau ini adalah jebakan. Aku didorong oleh seseorang sampai terjatuh. “AAAAH!! Tolong!!” tanganku meraih ujung jembatan. Seseorang menghampiri dan menolongku. “Tenang! Akan kutarik!” Sudah terlambat, aku terjatuh ke sungai. *** Aku terbangun di atas ranjang rumah sakit. “Heizou, kau sudah bangun?” Tanya seorang wanita. Tunggu dulu, namaku bukan Heizou. Siapa aku ini? Aku melihat seluruh tubuhku dan tersadar bahwa ini adalah tubuh teman sekelasku, Heizou, pacarnya Horimi. Kepalaku benar-benar pusing dan aku pun kembali pingsan. “Heizou, kau tidak seharusnya menolong gadis itu,” Wanita tadi langsung berkata saat aku mulai siuman. Aku pun bertanya apa yang terjadi dan wanita itu menjelaskan, “Gadis yang kau selamatkan sekrang dalam keadaan koma. Semoga saja dia masih hidup.” Beberapa jam berlalu, aku merasa sangat nyaman dengan kehangatan wanita yang ternyata Ibu Heizou itu. Hidupku 180 derajat berbalik, berubah total! Tidak,