remaja

A child facing bullying while sitting in a library against bookshelves, depicting harassment and isolation.

Hilang di Awan

Aku bersekolah di suatu SMA negeri di Hokkaido, Jepang. Hari-hari yang kujalani terasa berat. Setiap hari, aku hanya bisa menatap mejaku yang dipenuhi dengan coretan-coretan teman-teman sekelasku. Tetapi, setidaknya pemandangan pantai di luar jendela bisa menghiburku. KRRRINGGGGGG… KRRIIIINGGGGG… Dering lonceng istirahat telah berbunyi. Hanya ingin memakan bekalku pun aku tidak tenang. Gerombolan cewek-cewek itu tetap menggangguku. “Hei, bocah! Kenapa sekarang nasimu basah?” kata Horimi dengan nada mengejeknya. Ya, dia adalah ketua dari geng cewek-cewek itu, seorang gadis popular di angkatanku. Horimi cantik, tapi tidak dengan hatinya, “Apa yang kau mau, huh?” balasku, berusaha untuk melawannya. “Aku hanya melihat nasimu cukup kering. Hanya itu.” Setelah itu, mereka pergi begitu saja dengan langkah sombong. Tetap kulanjutkan memakan nasi yang sudah disiram itu. Nasi ini cukup aneh rasanya. Coba kalian bayangkan memakan nasi yang dicampur dengan cokelat? Ew! Menjijikkan! Meskipun begitu, mau tidak mau aku tetap memakan nasi itu. Begitulah hari-hariku terus berlalu, tanpa teman, selalu diejek, dipandang sebagai ‘Si Gadis Pendiam’. Kenapa mereka selalu melihat fisikku saja? Menurutku fisikku ini hanyalah suatu perubahan pubertas yang disebabkan oleh hormone. Nilai-nilaiku pun tidak seburuk nilai mereka. Tapi, jika boleh jujur, kehidupan sekolah justru lebih baik daripada di rumah. Ibu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Setiap malam, yang kudengar hanyalah pertengkaran mereka. Tentu saja itu bukanlah urusanku, tetapi dampaknya tetap sampai padaku. Perlakuan mereka padaku pun cukup kasar. Mereka memukul, membentak, dan tak sekalipun terasa menyayangiku. *** “Kyamii, kau sudah pulang?” Tanya ibuku dengan sangat lembut. Aku merasakan ada yang aneh pada ucapan Ibu. Saat aku menoleh kepadanya, aku melihat beberapa lebam di tangan dan kakinya. Yang paling mengerikan, dia membawa teko berisi air mendidih. Mataku seketika terbelalak. Ibu menyiramkan air mendidih itu kepadaku. Untungnya, aku dapat menghindar dengan cepat, meskipun tetap saja lengan kananku terkena imbasnya. “Ibu sudah gila?!” teriakku. “Di mana Ayah?!” Aku segera berlari ke luar rumah, mendekat ke arah bendungan. Kusiramkan air keran pada lengan kananku. Setelahnya, aku duduk di rerumputan dan mengembuskan napas. “Huft… Semua orang gila.” Lengan kananku masih perih akibat air mendidih yang disiramkan oleh Ibu kepadaku tadi. Dalam renunganku tentang kejadian yang tak pernah kusangka tadi, kudengar samar-samar percakapan orang lain, tak jauh dari tempatku duduk. “Ayo, Nak, sudah mau malam. Waktunya pulang. Tadi ibu masak sup miso dengan ikan tuna.” Suara tersebut mematahkan kebengonganku. Aku menoleh. Suara itu ternyata ibu dari seoorang anak yang sedang bermain di samping bendungan. Air mataku bercucuran tidak keruan. Kenapa??! Kenapa hidupku harus seperti ini??? Sebenarnya aku ini siapa?! Seorang anak di luar nikah? Anak haram? Kehidupan sekolahku hancur. Kehidupanku di rumah seperti neraka. Sebetulnya aku ini apa???! Menatap gumpalan awan-awan dan langit berwarna oranye, aku mulai tersadar bahwa kepribadianku adalah potongan-potongan dari kepribadian orang lain. Hidupku juga hanya diatur oleh orang lain tanpa pernah melawan. Langit semakin gelap diikuti angin yang berembus kencang. Bulan mulai terlihat. Semuanya telah berganti, tapi tidak dengan Sang Awan. Dia tetap berada di sana, siang dan malam, meskipun bisa menjadi awan hitam. Aku mulai kelaparan. Aku merogoh kantungku, “Lumayan, 1000 yen.” Aku pergi ke supermarket terdekat untuk membeli ramen instan dan cokelat panas sebagai obat lapar. Untunglah besok hari Sabtu, jadi aku tidak masuk sekolah. Aku sempat ketiduran di kursi supermarket selama beberapa jam. Saat aku terbangun, aku memberanikan diriku untuk pulang ke rumah. Aku membuka pintu rumah. Rumah terasa sunyi. Aku naik ke lantai atas dan berusaha untuk tidur. Tidurku terganggu oleh suara mereka lagi, suara pertengkaran yang tak pernah berhenti. *** Hari ini adalah hari pengumuman ranking.  Aku berada pada ranking 1 di kelas dan ranking 5 paralel. Tetapi sayangnya, ada yang benci karena aku mendapatkan ranking atas lagi. Mereka membicarakan tentang mengapa gadis seperti aku bisa mendapatkan peringkay atas. Mereka bahkan menyebarkan hoaks. Tetapi Amane menyelamatiku, “Selamat ya, Kyamii.” Amane adalah murid yang rankingnya pas di bawahku. Aku membalas ucapannya dengan ujaran terima kasih yang sangat pelan. Sejujurnya, dia adalah teman sekelas yang sangat baik. KRRRRIIIIINGGGG… KRRIIIIINNNGGGG… Bunyi dering bel menandakan jam ke-2, yaitu jam pelajaran olahraga. Semua mata masih melihatku dengan sinis, tapi aku tidak peduli. Semua berjalan lancar sampai ketika aku berlari, beberapa gadis itu menarik tali yang sengaja mereka siapkan agar aku terjatuh. “Aaah!!” pekikku. Tiba-tiba, ada seorang cowok yang menarikku berdiri, “Kau tidak apa-apa?” katanya. Saat aku mendongak, ternyata dia adalah pacarnya Horimi. Aku langsung bangkit dan pergi. Para gadis itu langsung mengadukan kejadian barusan kepada Horimi, tentu saja. *** “Aaak! Lepaskan aku!” teriakku. Rambutku dijambak, kepalaku diseret dan dimasukkan ke dalam lubang toilet. “Berani sekali kau caper1 ke pacarku?!” bentak Horimi dengan kasar. Di sana, aku dibully oleh mereka. Ini sangat menyakitkan. Hampir setengah jam berlalu, badanku sakit semua. Aku mengganti pakaian olahragaku dengan seragam biasa, kemudian masuk kelas seolah tak terjadi apapun. Coretan di mejaku semakin banyak, bahkan mereka sekarang menyebarkan hoaks kalau aku ini seorang pelakor2. *** Pekan proyek sudah hampir tiba. Kami semua menyiapkannya satu kelas supaya kelas kami juara. “Temui aku di jembatan belakang sekolah jam 7 malam,” secarik kertas di laciku berujar, tetapi persiapan proyek ini sampai pukul 8 malam, jadi aku izin kepada ketua kelas untuk pergi sebentar. Aku menunggu orang itu selama beberapa menit, tapi dia tak kunjung datang. Ding. Lampu di sekitarku tiba-tiba padam. Aku mulai sadar kalau ini adalah jebakan. Aku didorong oleh seseorang sampai terjatuh. “AAAAH!! Tolong!!” tanganku meraih ujung jembatan. Seseorang menghampiri dan menolongku. “Tenang! Akan kutarik!” Sudah terlambat, aku terjatuh ke sungai. *** Aku terbangun di atas ranjang rumah sakit. “Heizou, kau sudah bangun?” Tanya seorang wanita. Tunggu dulu, namaku bukan Heizou. Siapa aku ini? Aku melihat seluruh tubuhku dan tersadar bahwa ini adalah tubuh teman sekelasku, Heizou, pacarnya Horimi. Kepalaku benar-benar pusing dan aku pun kembali pingsan. “Heizou, kau tidak seharusnya menolong gadis itu,” Wanita tadi langsung berkata saat aku mulai siuman. Aku pun bertanya apa yang terjadi dan wanita itu menjelaskan, “Gadis yang kau selamatkan sekrang dalam keadaan koma. Semoga saja dia masih hidup.” Beberapa jam berlalu, aku merasa sangat nyaman dengan kehangatan wanita yang ternyata Ibu Heizou itu. Hidupku 180 derajat berbalik, berubah total! Tidak,

Hilang di Awan Read More »

Learning To Be ‘Me’

I’ll be honest—when someone asks me about a major turning point in my life, I come up empty-handed. I’ve never had that one, life-altering moment that flipped my world 180°. All I can offer are short stories about me. Back at the start of junior high school, I was one of those kids who was quiet, antisocial, and didn’t speak much. I was afraid. I thought too much about people’s views of me. What are my current expressions like? Why does she look at me like that? Have I done something wrong? Most of my time was spent lost in daydream. A different world where people were kinder. I longed for a world without hatred, where no one had to carry such burdens. So, I tried to blend in. I tried to look “normal,” whatever that meant. I thought if I could just be like everyone else, maybe I’d finally feel at peace. Then, sometime in 8th grade, I came across a book. Antoine De Saint-Exupéry’s _The Little Prince. It moved something within me. So, I looked in deeper and that’s where I found my favourite quote to this day: “Of course, I’ll hurt you. Of course, you’ll hurt me. Of course, we will hurt each other. But this is the very condition of existence. To become spring, means accepting the risk of winter. To become presence, means accepting the risk of absence.” Happy and sad, win and lose, they coexist. There won’t be any warmth without cold. That’s the condition of life. And maybe, just maybe, one of the voices that hurt me the most… was my own. Perhaps my biggest enemy has always been myself. Since then, I’ve been learning. Learning that to truly love others, I have to start by loving myself. I found out that no two people have the same colours. Everyone walks a different path, shaped by different choices. Blending in doesn’t mean erasing who I am. We’re all different shades, and that’s what makes this world alive. Now, I try to embrace who I really am. People will always talk—but that’s okay. Eventually, you find the ones who see you, who love you for simply being you. And that’s what truly matters. by Zahra Nafisa Syu’la Laili

Learning To Be ‘Me’ Read More »

Resensi “Dorothy Must Die”

Siapa di sini yang kenal dengan Dorothy dari “The Wizard of Oz”? Pasti tidak asing kan. Nah, “Dorothy Must Die” karya Danielle Paige mengambil kisah klasik yang digemari dan mengubahnya, mengungkap alternatif suram untuk pahlawan yang ikonik. Judul Buku: Dorothy Must Die Penulis: Daniella Paige Penerbit: HarperCollins Tahun Terbit: 2014 Jumlah Halaman: 452 Amy Gumm, seorang gadis dari Kansas yang tidak begitu istimewa. Di sekolah, dia merasa diasingkan dan sering menjadi sasaran intimidasi. Ibunya tampak acuh tak acuh terhadapnya setelah ayahya meninggal, dan dia merasa benar -benar terisolasi. Suatu hari, sebuah pusaran menyerang Kansas dan membawanya ke negeri Oz. Namun, Oz bukan ranah yang penuh dengan keajaiban luar biasa seperti yang digambarkan. Di sini dia menemukan dunia yang dikuasai Dorothy, gadis yang baik hati, kini menjadi haus kekuasaan dan kejam. Dia menguasai Oz sesuka hatinya, mengeksploitasinya semata -mata untuk keuntungan pribadi. Amy yang hanya ingin pulang ke rumah, kini terjebak. Dia bertemu dengan kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan Dorothy dan mengembalikan Oz seperti semula. Amy harus beradaptasi dengan dunia sihir, dan menemukan bakat terpendam dalam dirnya demi bertahan. Sekarang dia hanya memiliki satu misi penting; membunuh Dorothy. Hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Danielle Paige berhasil mengubah perspektif kita tentang karakter yang sudah dikenal. Dorothy yang dulunya kita anggap sebagai pahlawan, kini menjadi sosok antagonis yang menakutkan. Sama seperti tokoh pemberontak, dalam cerita “The Wizard of Oz”, mereka digambarkan sebagai antagonis. Namun, saat kebaikan menjadi jahat, bahkan para Wicked tidak terlihat segitu kejamnya. Gaya penulisan Paige sangat mengalir dan mudah dipahami. Dia berhasil menciptakan suasana yang mendebarkan, membuat kita terus ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setiap bab penuh dengan kejutan dan ketegangan, sehingga sulit untuk meletakkan buku ini. Meskipun ada beberapa bagian yang terasa lambat, semua itu penting demi character building. Selain itu, karakter-karakternya juga relatable. Sang tokoh utama kami, Amy Gumm, bagaimana bisa kita tidak menyukainya. Dia berani, penuh antusiasme, insecure, dan yang paling penting, realistis. Bukan seperti tipikal tokoh utama yang sudah memiliki segalanya, dia tokoh yang justru tidak memiliki apa-apa. Amy, dengan semua kecemasannya membuat kita merasa lebih dekat dengannya. Beberapa kali Amy terjebak dalam situasi di mana arahan diberikan kepadanya, tapi dia selalu membuat keputusannya sendiri dan memetakan jalan. Dari situlah aku mulai menyukainya, karena motivasi Amy selalu tertuju pada membantu orang lain. Secara keseluruhan, buku “Dorothy Must Die” adalah bacaan yang memikat yang menawarkan sentuhan unik pada karya klasik yang sudah populer. Danielle Paige membuat narasi yang menarik dan substansial, menyelidiki motif tentang otoritas, kepribadian, dan dikotomi moralitas dan kedengkian. Kalau kamu menyukai cerita fantasia tau pertualangan yang sedikit gelap, buku ini wajib dibaca sih! Selamat membaca! Oleh Zahra Nafisa Syu’la Laili

Resensi “Dorothy Must Die” Read More »

Loloh Cemcem : Menyelami Keharuman Desa Adat Panglipuran

Bali, pulau yang terkenal dengan julukan “Pulau Dewata,” selalu berhasil memikat hati siapa saja yang berkunjung. Terkenal akan keindahan alamnya yang memukau dan kekayaan budaya yang kental, Bali menjadi destinasi pilihan ideal untuk melakukan kegiatan PK JOSS SMA Muhammadiyah PK Kottabarat Surakarta. Kami memulai perjalanan ke Bali pada hari Selasa, 11 Februari 2025 pukul 22.00 dengan media transportasi bus pariwisata Sedya Mulya. Selama perjalanan kami dipandu oleh tour guide yang sudah dipersiapkan oleh Sedya Mulya. Sebelum menaiki kapal, di pagi harinya kami melakukan kunjungan Universitas ke Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga, Surabaya. Kami diberi kesempatan untuk mengetahui lebih luas tentang informasi-informasi mengenai Fakultas Farmasi, dan jalur-jalur apa sajakah yang bisa kami gunakan untuk lolos ke Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga. Setelah melakukan kunjungan kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan. Sesampainya di Bedugul, Bali, kami mengunjungi berbagai destinasi wisata di Bali, salah satunya Desa Penglipuran. Desa Penglipuran merupakan salah sedikit desa di Bali yang rumah-rumahnya menggunakan desain yang serupa dengan atap jerami yang khas. Arsitektur unik yang paling terlihat adalah pintu masuk atau angkul-angkul yang serupa pada setiap rumah. Menurut UNESCO, Desa Penglipuran adalah desa adat terbersih nomor 3 di dunia. Salah satu wujud kebersihannya bisa dilihat di sepanjang jalan yang terdapat parit saluran air di kanan kiri selebar 50 cm dengan sanitasi yang sangat lancar. Hal lain yang menarik dan hanya ada di Desa Penglipuran adalah minuman loloh cem cem. Loloh cemcem adalah minuman tradisional hasil produksi rumahan di Bali yang banyak diproduksi dan dipasarkan di Desa Penglipuran dengan harga yang sangat terjangkau yaitu 5 ribu rupiah. Meskipun memiliki harga yang terbilang cukup murah untuk ukuran minuman khas adat, loloh cemcem memiliki banyak sekali manfaat, seperti mengobati panas dalam, melancarkan pencernaan, menyegarkan tubuh, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan tekanan darah, mengatasi flu, batuk, dan masuk angin, aman untuk penderita maag, dan baik untuk dikonsumsi ibu hamil dan menyusui. Selain itu, loloh cemcem juga merupakan   minuman tradisional Bali yang terbuat dari berbagai bahan alami, seperti daun cemcem (Crescentia cujete), air kelapa muda, kayu manis (Cinnamomum verum), daun sirih (Piper betle), daun jarak pagar (Jatropha curcas), daun dhadhap (Elsholtzia ciliata), gula aren, dan garam. Daun cemcem (Crescentia cujete), yang banyak ditemukan di Bali, dipercaya dapat membantu memperlancar pencernaan dan meningkatkan sistem imun tubuh. Air kelapa muda memberikan kesegaran sekaligus kaya akan elektrolit alami, seperti potasium, natrium, dan magnesium, yang bermanfaat untuk hidrasi tubuh, menggantikan cairan yang hilang, dan menyeimbangkan asam-basa tubuh. Kayu manis (Cinnamomum verum) memberikan rasa hangat dan memiliki manfaat meningkatkan metabolisme, mengatur kadar gula darah, serta sifat anti-inflamasi dan antioksidan. Daun sirih (Piper betle) dikenal dengan sifat antibakteri, antimikroba, dan antioksidan, yang membantu pencernaan, meredakan peradangan, dan meningkatkan sistem imun. Daun jarak pagar (Jatropha curcas) dan daun dhadhap (Elsholtzia ciliata) mendukung pencernaan dan peredaran darah, serta memiliki sifat anti-inflamasi dan antioksidan. Gula aren, yang mengandung kalium, magnesium, dan zat besi, memberikan rasa manis alami dengan indeks glikemik lebih rendah daripada gula putih. Garam dalam Loloh Cemcem membantu menyeimbangkan elektrolit tubuh dan menjaga hidrasi. Dengan semua bahan alami ini, Loloh Cemcem tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menawarkan berbagai manfaat kesehatan, terutama untuk pencernaan, sistem imun, dan hidrasi tubuh. Dengan semua bahan alami ini, Loloh Cemcem tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menawarkan berbagai manfaat kesehatan, terutama untuk pencernaan, sistem imun, dan hidrasi tubuh. Setelah melalui serangkaian kegiatan, berinteraksi dengan masyarakat lokal, belajar tentang tradisi dan adat istiadat mereka, serta mencicipi kuliner khas Bali, semakin memperdalam rasa cinta kami terhadap keragaman budaya Indonesia. Kami juga belajar pentingnya menjaga lingkungan dan melestarikan warisan budaya, yang menjadi tanggung jawab kami bersama sebagai generasi penerus. Akhir kata, perjalanan ini bukan hanya sekedar liburan, tetapi juga merupakan proses pembelajaran yang mendalam. Kami kembali dengan membawa banyak kenangan indah, pelajaran berharga, dan semangat baru untuk terus belajar dan berkarya. Semoga pengalaman ini dapat menjadi inspirasi bagi kami dan teman-teman lainnya untuk terus menjelajahi keindahan dan kekayaan budaya Indonesia, dan menjadi awal dari banyak petualangan dan eksplorasi lainnya di masa depan.    

Loloh Cemcem : Menyelami Keharuman Desa Adat Panglipuran Read More »

Close-up of a dart hitting the bullseye on a black and white target board symbolizing success.

Mungkin Memang Bukan Jalannya

Kelas 12 di SMA adalah waktu yang paling krusial karena saat kelas 12 kita harus sudah menemukan minat untuk menentukan masa depan kita. Rovi sekarang sudah masuk ke kelas 12, tetapi sampai sekarang ia masih belum juga menemukan apa jurusan yang akan dia ambil saat nanti beranjak ke bangku kuliah. Kebanyakan temannya sudah tahu jurusan apa yang akan mereka ambil saat kuliah. Ketika Rovi bertanya kepada temannya tentang mau jadi apa mereka di masa depan, ada yang menjawab ingin menjadi dokter, pengacara, guru, bahkan ada yang ingin menjadi pebisnis. Rovi sendiri kebingungan karena hanya dia sendiri yang belum menemukan minatnya. Setelah mendengar saran dari teman-temannya, mereka menyarankan Rovi untuk mencari minat sesuai dengan bakat ataupun hal yang dia sukai. Karena Rovi dulu pernah bercita-cita menjadi dokter, akhirnya ia memilih kedokteran. Rovi mulai sering belajar biologi karena di pelajaran biologi dia selalu remedial. Sebelum PTS biologi, Rovi belajar untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Namun, setelah pengumuman nilai, ternyata Rovi masih saja remedi. Karena hal itu, akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk menjadi seorang dokter. Sudah hampir setengah semester berlalu, Rovi belum juga menemukan minatnya. Salah satu temannya menyarankan Rovi untuk mengambil teknik yang didominasi hitungan dan fisika yang lumayan Rovi kuasai. Setelah mencari referensi di internet, Rovi jadi tertarik dengan teknik elektro UGM. Ia juga mencari referensi dari orang-orang yang dikenalnya yang pernah berkuliah di rumpun teknik. Salah satu saudaranya menyatakan, jika ingin mengambil teknik, lebih baik ambil teknik mesin karena teknik mesin bagus untuk mencari gelar S2 dan S3. Cakupan ilmu teknik mesin lebih luas, tidak seperti teknik elektro yang hanya membahas tentang listrik. Rovi yang tidak mau belajar lebih dan ingin langsung bekerja saja, memilih untuk mengambil teknik elektro. Setiap hari, Rovi belajar mulai dari pulang sekolah hingga larut malam. Dia memelajari buku-buku try out yang dibelinya. Rovi juga mengikuti try out online yang ada di internet. Dia juga mulai rajin beribadah, seperti tahajud, puasa senin-kamis, dan puasa Daud supaya ia bisa lolos UTBK dan masuk jurusan yang diinginkan. Tidak terasa ternyata sudah memasuki hari ujian. Perasaan Rovi menjadi khawatir karena takut tidak bisa diterima oleh PTN impiannya. Setelah pengumuman, ternyata dugaan Rovi benar, ia tidak lolos SMPTN. Akhirnya, ia mencoba jalur mandiri di universitas lain. Setelah pengumuman hasil ujian jalur mandiri, ternyata Rovi diterima di fakultas yang sama, di universitas swasta. Namun, Rovi memilih untuk tidak mengambil jurusan itu dan memutuskan untuk gap year selama setahun. Selama gap year, Rovi memutuskan untuk travelling sendirian mengelilingi Indonesia. Tujuan Rovi melakukan travelling sendirian tanpa teman adalah untuk melepas penat dari ujian dan untuk bertemu dengan orang-orang baru. Saat melakukan perjalanan ke Labuan Bajo, ia bertemu dengan teman baru dari Medan yang bernama Ferry. Ferry adalah seorang pebisnis F&B yang memiliki banyak cabang di seluruh Sumatera Utara. Ferry bercerita bahwa semasa SMA, dia ingin menjadi dokter. Tetapi, karena kondisi ekonomi dan tidak adanya dukungan dari beasiswa, Ferry memutuskan untuk tidak kuliah dan bekerja dengan seseorang di restoran padang di Medan. Karena keteladanannya selama bekerja, owner dari restoran itu menyarankan Ferry untuk melanjutkan kuliah dan akan menanggung semua biaya pendidikan Ferry. Setelah lulus kuliah, Ferry langsung mendirikan usaha kecil-kecilan pertamanya. Seiring berjalannya waktu, usaha Ferry berkembang pesat hingga dikenal di seluruh penjuru Medan. Mendengar cerita Ferry membuat Rovi akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah dengan memilih fakultas manajemen bisnis. Sepulangnya Rovi dari travelling, Rovi mencoba sekali lagi untuk mengikuti SMPTN dengan memilih manajemen bisnis sebagai tujuan. Kali ini, Rovi merasa percaya diri dan mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan itu berbuah manis. Setelah diumumkan, ternyata Rovi diterima di PTN yang dia impikan. Selama duduk di bangku perkuliahan, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan dan mengikuti perkuliahan secara serius. Lagi-lagi, kesungguhannya berbuah manis. Ia pun lulus dan mendapatkan gelar cumlaude sebagai tanda bahwa dia berhasil lulus sebelum 4 tahun. Setelah lulus, Rovi diterima di salah satu perusahaan. Namun, saat bekerja di perusahaan, ia malah merasa ingin membuka bisnisnya sendiri saja. Rovi merasa memiliki modal yang cukup. Ia pun resign dari tempat ia bekerja. Karena dukungan dari orang-orang di sekitarnya, Rovi memiliki semangat untuk tetap melanjutkan usahanya dalam membuka bisnisnya sendiri itu. Pada tahun ke-5, jerih payah Rovi akhirnya terbayarkan. Pendapatan usahanya meningkat secara drastic, memiliki banyak cabang, dan Rovi kini bahkan bisa mendapatkan penghasilan tanpa bekerja keras lagi. Rovi sendiri tidak percaya dengan apa yang selama ini telah ia lalui hingga ke titik ini. Mulai dari tidak lulus SMPTN hingga memiliki bisnis dengan puluhan cabang. Rovi sekarang percaya bahwa Tuhan telah mengatur semuanya dan manusia hanya bisa memilih untuk melakukannya atau tidak melakukannya. TAMAT Oleh: Fairuza Nadhifan .I .H

Mungkin Memang Bukan Jalannya Read More »

Silhouette of a group of friends jumping on a beach at sunset, expressing joy and freedom.

Ramai – A Short Story

Perjalanan yang diiringi dengan matahari terbit waktu itu adalah saat dimana memasuki sekolah barunya di jenjang SMA. Usia Kiona kini sudah beranjak remaja, yaitu 18 tahun. Dia dibesarkan dan dididik agar bisa mandiri dan tidak selalu bergantung kepada orang lain, ditambah lagi dia termasuk anak yang mendapatkan didikan keras dari orang tuanya. Sebab karena itu, dia menjadi anak yang agak bandel dan suka mengikuti teman-teman sebayanya. Karena orang tuanya takut Kiona semakin menjadi-jadi maka dia disekolahkan boarding. Awalnya memang dia menolak. Namun, karena keadaan jadi dia harus menuruti orang tuanya. Kiona sangatlah sayang kepada ayahnya, apalagi kakaknya Kiona yang sekarang putus sekolah karena kemauannya sendiri dan orang tuanya tidak bisa berbuat apapun. Oleh karena itu dia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Warna langit yang biru dan dipenuhi awan-awan, serta bunyi kicauan burung dari pohon-pohon, itulah yang pertama kali dia lihat dan rasakan saat memasuki sekolah barunya. Dia agak takut tidak punya teman. Namun, saat dia sedang di asrama, ada sekerumunan perempuan yang sedang berbicara di kasur. “Mungkin itu ya temen-temenku? Mau aku ajak kenalan, tapi agak takut…,” pikir Kiona. Kemudian dia pergi ke lemari dan menata beberapa barangnya. Saat dia sedang menata lemari, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. “Kamu ada yang perlu dibantuin?” Ucap seorang perempuan denggan sorot matanya yang cantik dan berbadan tinggi itu. “Kayaknya nggak ada,” ucap Kiona lembut. “Ooh, okay. Nanti kalau ada yang mau dibantu bilang aja ya,” balas perempuan itu. “Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?” Tanya Kiona. “Nama aku Shella. Salam kenal ya!” Balasnya. “Salam kenal juga, Shella. Semoga kita nanti bisa berteman baik yaa. Nama aku Kiona,” ucap Kiona dengan senang hati karena dia mendapatkan teman barunya di sekolah. Hari demi hari terus berlalu hingga bulan ke bulan dan saat ini, tidak terasa 2 tahun sudah terjalani. Begitu banyak suka dan duka yang ia lalui dan sekarang dia memiliki banyak teman. Tapi, karena hal itu dia menjadi lalai dan tidak bertanggung jawab. Faktor teman dan lingkungan membuat dia menjadi seperti orang yang berbeda, bahkan Kiona berani mencoba hal-hal yang dia tidak suka, seperti melanggar aturan. Padahal, dia juga adalah seorang perempuan yang tidak sepantasnya seperti itu karena dia sseperti orang yang tidak memiliki adab karena pengaruh teman-temannya atau takut ketinggalan yang sekarang disebut dengan istilah FOMO (Fear Of Missing Out). Tidak jarang lagi dia dipanggil oleh guru BK karena sikapnya itu dan juga dia berangkat sekolah tidak membawa buku dan selalu bermalas-malasan dan tidur saat pelajaran di kelas. Guru-guru pun sampai bosan menegurnya setiap hari. Inilah pergaulan yang ditakutkan oleh orang tuanya terjadi. Orang tuanya tidak begitu memerhatikan seberapa bandelnya Kiona saat di sekolah karena mereka berpikir itu belum seburuk itu. Lagipula saat SD dia pernah dikeluarkan dari sekolah juga karena tingkah lakunya tersebut. Dia juga seperti itu karena dia orang yang mudah dipengaruhi oleh orang lain. Karena terpisah jauh dari orang tuanya, Kiona menjadi bebas melakukan semaunya sendiri. Namun, dia juga terkadang merasa khawatir karena usia ayahnya yang sudah tergolong tua dan menjadi sering sakit-sakitan. Shella dan Kiona, mereka adalah dua insan yang tidak terpisahkan. Di saat Shella ada, pasti Kiona juga ada, entah di manapun itu berada. Akan tetapi, pertemanan mereka bukan pertemanan yang sehat meskipun mereka bisa disebut sebagai ‘sahabat’. Pada waktu-waktu senggang, mereka suka berbincang-bincang hangat atau makan bersama, hingga suatu hari, Shella mengajak Kiona untuk membeli rokok. Entah apa yang dipikirkannya hingga memiliki ide seperti itu. Apalagi rokok juga haram, kan. Kiona sempat berpikir untuk menolak. Namun, karena dia juga ingin mencoba hal baru tersebut, jadi dia meng-iyakan saja ajakan Shella. Akhirnya mereka membeli rokok itu diam-diam dengan menyelinap ke pos satpam dan memberikan satpam tersebut sejumlah uang. Setelah mereka selesai menghabiskan dua batang, mereka membuangnya di tempat sampah dengan asal-asalan dan meninggalkan bau yang menyengat. Perbuatan mereka yang lumayan terang-terangan membuat seorang guru jadi melihat mereka berdua dan melaporkan perbuatan tersebut ke guru BK untuk ditindaklanjuti. Guru mereka berpikir perbuatan kali ini sudah berlebihan, jadi perbuatan tersebut dilaporkan ke orang tua masing-masing. Orang tua Kiona yang mendengar hal tersebut kecewa dengan perbuatannya karena mereka telah mendidik Kiona dengan susah, tetapi malah seperti itu jadinya. Kemudian ayah Kiona memutuskan untuk pensiun dan pada hari selanjutnya dikabarkan bahwa ibunya opname di rumah sakit. Mendengar kabar itu, Kiona menyadari perbuatannya. Kiona hanya duduk termenung sendiri di balkon sembari melihat anak-anak yang sedang bermain dan berpikir bagaimana cara mengubah kebiasaan buruknya, serta meminta maaf kepada orang tuanya atas sikap buruknya yang sudah mengecewakan mereka. Ternyata, saat ini yang sulit baginya hanyalah agar menjadi baik. Padahal, dulu dia memiliki banyak cita-cita yang ingin dia capai. Kiona mencoba menyadari apa yang telah diperbuatnya dengan harapan bisa memperbaiki diri. Karena melihat keadaannya, Kiona tidak hanya malu kepada dirinya sendiri, tapi juga kepada Tuhannya. Di saat seperti ini, dia menjadi ingat hadits yang pernah diberikan gurunya. “Laa tahzan, innallaha ma’naa..” yang mana berarti “Janganlah bersedih, Allah selalu membersamai kita.”. Dia tidak mau  larut dalam kesedihan, jadi dia mencoba untuk memperbaiki diri dengan berbicara kepada orang tuanya dan mendekatkan diri kepada Allah. Akhirnya, Kiona pindah sekolah saat kenaikan kelas 12 dan mencoba untuk mencari pergaulan yang lebih baik daripada yang dulu. Dia merasakan bagaimana indahnya jika hidu[ lebih dekat dengan Allah daripada jauh dari-Nya karena hidup akan jadi lebih tenang dan semua akan terasa mudah. Keadaan ibunya pun sudah membaik selepas opname. Kiona juga merasa lelah dengan pergaulannya yang dulu. Walaupun banyak temannya, tetapi dia tetap merasa sendirian dan merasa tidak nyaman. Ternyata jauh lebih nyaman seperti ini, terpengaruh oleh orang yang baik. TAMAT Oleh: Nafeeza X-2

Ramai – A Short Story Read More »

Resensi “Serangkai” Valerie Patkar

Dengan penampilan sampul yang didominasi warna ungu gelap dan merah muda, barangkali kebanyakan orang akan menyimpulkan bahwa “Serangkai” kepunyaan Valerie Patkar membahas penuh mengenai romansa. Pandangan tersebut tidak salah, tetapi pembahasan di dalamnya lebih dari sekadar roman picisan. “Serangkai” mengangkat tema besar luka dan kehilangan. Judul Buku       : Serangkai Penulis             : Valerie Patkar Penerbit          : Bhuana Ilmu Populer Tahun Terbit   : 2021 Jumlah Halaman: 400 Kisah dibuka dengan kemunculan Kai Deverra yang spektakuler. Bagaimana tidak? Kai Deverra adalah seorang pembalap F1 yang mewakili tanah air dalam pagelaran balapan di Zandvoort, Belanda. Pembalap andalan BehIND itu rupanya masih tenggelam dalam pikirannya di tengah kencangnya laju kendaraan balap di lintasan. Bukannya tanpa alasan, tapi tak lain karena mantan kekasih sang Pembalap baru saja mengirimkan surat undangan pernikahan kepadanya setelah bertahun-tahun lalu Kai Deverra ditinggalkan, diselingkuhi oleh wanita itu. Serangkaian hal yang tidak berjalan sesuai dengan rencana, nyatanya justru mempertemukan Kai dengan seorang medis perempuan baru, Divas. Hubungan dokter dan pasien antara Kai dengan Divas pada mulanya tidak berjalan dengan baik, meskipun Divas menangani Kai dengan baik setelah adanya insiden di lapangan balap. Dari sudut pandang Kai, Divas terlalu kasar sebagai dokter, terlalu semena-mena. Dari sudut pandang Divas, Kai keras kepala, tapi justru terlihat lemah dengan memaksakan diri mengatakan dirinya baik-baik saja. Pada kenyataannya, sikap sok kuat yang ia terus komentari dari diri Kai, justru ada pada diri Divas sendiri. Sudah cukup lama, Divas terus menyalakan rokok, meskipun ia tidak merokok. Pukul enam sore seakan menjadi waktu yang sakral bagi Divas. Ditemani gummy bear warna-warni dan airpods yang menyumpal kupingnya, ia akan melamun, mendengarkan lagu “Kasih Tak Sampai” oleh Padi. Divas menolak berlama-lama berada di rumah yang dipenuhi kebahagiaan palsu selepas hilangnya sosok sang Kakak, Zacchio, dari hidup mereka. Kai dan Divas sepakat bahwa keduanya tidak menyukai satu sama lain selepas kejadian di Zandvoort. Keduanya tidak ingin terlibat lebih jauh. Tapi takdir selalu mengejutkan dengan segala permainannya. Kai dan Divas justru bertemu lagi, jauh dari Zandvoort, di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Kai dalam proses terapinya, Divas sebagai asisten dokter. Masih dibuai dalam permainan takdir yang mengikat keduanya, Kai kemudian menemukan bagaimana Divas termenung dalam lamunnya di ruangannya setiap pukul enam sore, meski si perempuan terus mengusir Kai dengan mengatakan bahwa ia sibuk. Kai menemukan ketenangan, kelegaan dalam hatinya justru selepas dihunjam kata-kata yang tak dapat disebut lembut dari Divas. Kai, dalam prosesnya ketika ia menemukan luka dalam diri Divas, berharap ia bisa menjadi obat layaknya kata-kata Divas yang menjadi obat bagi dirinya. Valerie Patkar melakukan pekerjaan hebat dalam menuangkan emosi dalam setiap lembar “Serangkai”. Gaya bahasa kekinian beresonansi dengan baik dengan jiwa-jiwa muda pengguna kata ganti “lo-gue”, meskipun pergantian maju-mundur linimasa terasa sedikit membingungkan karena terkesan melompat-lompat. Pembangunan masing-masing karakter juga terasa nyata, seakan Kai, Divas, Zacchio, Dhika, dan karakter-karakter lainnya itu memang merupakan orang-orang sungguhan dengan kisah yang sungguh terjadi, nun jauh di suatu sudut bumi. Pada akhirnya, “Serangkai” bukan milik Kai. “Serangkai” bukan milik Divas. “Serangkai” mengisahkan bagaimana kehilangan mungkin memang menciptakan luka pada setiap diri dan menjadi suatu fase yang tak perlu cepat-cepat dilewati atau ditutup dengan kasar. Luka itu mungkin perlu dinikmati sementara waktu, sembari merasakan perihnya hati yang menggerogoti raga dan pikiran, sembari merasakan asin air mata, sembari menunggu sosok yang tepat untuk kemudian bersama-sama sembuh dari luka. Oleh Manikam Mutiara Pertiwi

Resensi “Serangkai” Valerie Patkar Read More »