Resensi

Resensi “Parable” Brian Khrisna

Parable merupakan salah satu karya Brian Khrisna yang terpopuler. Parable merupakan sebuah novel bergenre semi-fiction dan komedi yang dimana Brian Khrisna mengaku benar-benar terinspirasi dari kisah nyata. Novel ini disarankan kepada pembaca remaja dimana novel ini menceritakan kisah hidup Sadewa Sagara semasa SMA dengan banyaknya komedi yang diselipkan dan juga intrik romansa remaja sebagai pusat ceritanya tapi disampaikan semi tersirat. Kisah dimulai dengan memperkenalkan Sadewa Sagara sebagai karakter utama yang serba kekurangan dari penampilan, ekonomi, kepintaran, dan kelakuan. Hidup dengan semua kekurangan tersebut membuat Dewa menjadi sosok pejuang kehidupan yang sebenarnya. Kisah ini berpusat pada kehidupan SMA Dewa yang dimana dia berteman dengan seseorang yang kehidupannya berbanding terbalik dengannya bahkan bisa sampai diumpamakan surga dan neraka yaitu Edwaard Cantona atau kerap disapa Edo. Jika Dewa kekurangan dalam segalanya, maka Edo sempurna dalam segalanya. Novel ini memiliki banyak sekali kelebihan di antara novel-novel zaman sekarang yang kebanyakan merupakan mimpi basah penulis yang kisahnya merupakan kisah dimana karakter utama punya segalanya dan merupakan seorang bad boy dan sebagainya atau juga hanya kisah romansa remaja SMA atau bahkan SMP yang baru mengalami pubertas dan terkesan seperti penulis sedang birahi yang benar benar membuat saya muak membacanya. Kelebihan novel ini antara lain adalah penggambaran karakter Dewa yang sangat baik. Brian Khrisna Sendiri benar-benar ‘memasak’ karakter Dewa dengan menunjukan sifat konyol Dewa yang sangat menarik dengan berbagai jokes dan guyonannya. Walaupun beberapa garing, akan tetapi dimasukan pada saat dan waktu yang tepat sehingga membuat jokes yang asalnya garing menjadi lucu, bahkan dalam beberapa kesempatan jokes dari Dewa dapat mencairkan suasana yang awalnya canggung dan serius menjadi lebih kalem dan asik. Brian Khrisna juga membuat sisi lain Dewa, yaitu sisi dimana Dewa sangat bijak memahami kehidupan,bijaksana dan juga dewasa, akan tetapi tetap dibalut dengan jokes yang garing dan lucu, membuat saya sendiri sangat menyukai karakter Dewa ini. Selain penggambaran sifat Dewa yang benar-benar baik, Brian Khrisna juga menggunakan pemilihan bahasa yang menarik, seperti memasukkan bahasa-bahasa gaul dan juga beberapa bahasa yang terkesan toxic. Hal tersebut bukannya menjadi kekurangan, malahan menjadi salah satu kelebihan yang dimiliki novel ini karena Brian Khrisna berani menggunakan bahasa yang cukup kontroversial tersebut. Bhrian Khrisna pandai menyisipkan kata-kata tersebut. Kebanyakan novel yang menggunakan bahasa tersebut malah terkesan kaku dan memaksa, akan tetapi Bhrian Khrisna justru membuat itu menjadi salah satu kelebihan dari karyanya. Selain dari kedua aspek sebelumnya, novel ini juga memiliki kelebihan di perkembangan alur ceritanya yang tidak terkesan terlalu lama maupun terlalu cepat dan ini membuat novel ini menjadi semakin apik. Jika ada kelebihan pasti ada juga kekurangan, karena tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan. Kekurangan novel ini antara lain adalah alur ceritanya yang cukup klise. Berbeda dengan tema, alur merupakan perkembangan jalan cerita yang pada akhirnya tentu saja membuat ending dari Parable dapat ditebak dan hal itu membuat sensasi membaca yang awalnya naik ketika di awal dan pertengahan cerita, tiba-tiba turun ketika mencapai akhir cerita. Selain itu ada beberapa karakter yang seharusnya cukup berdampak pada cerita, akan tetapi sedikit sekali disinggung dalam cerita. Sedikit disini merujuk pada kurang cukupnya mendapat panggung dalam cerita karena seharunya jika pemberian panggung pada beberapa karakter sampingan dapat membuat cerita novel ini benar benar matang sempurna. Ada juga beberapa plot hole yang cukup menggantung, meskipun hal itu kurang berdampak pada cerita atau bahkan tidak memiliki dampak, maka masih bisa dimaafkan. Masuk ke penggambaran karakter, tidak semua karakter di novel ini sempurna ‘dimasaknya’, seperti kurangnya penggambaran karakter heroine(karakter perempuan) utama dan juga pemberian panggung padanya seperti penulisannya yang terlalu kaku pada beberapa keadaan dan sekilas membuatnya seperti karakter sampingan biasa, padahal dia adalah pasangan karakter utama. Kesimpulan yang saya berikan adalah saya merekomendasikan novel ini menjadi bacaan sehari-hari karena berbeda dari novel kebanyakan yang dibaca sekali langsung bosan novel ini masih dapat menghibur walaupun sudah dibaca beberapa kali.Selain itu novel ini juga membawakan kisah yang relate dengan kehidupan dan juga novel ini juga dapat memberikan kita beberapa pelajaran dan nasehat yang walaupun disampaikan secara tidak langsung tapi kita dapat menangkap maksutnya dengan mudah. Oleh Kenzhi Hafiz Hyapniville

Resensi “Parable” Brian Khrisna Read More »

Resensi “Dorothy Must Die”

Siapa di sini yang kenal dengan Dorothy dari “The Wizard of Oz”? Pasti tidak asing kan. Nah, “Dorothy Must Die” karya Danielle Paige mengambil kisah klasik yang digemari dan mengubahnya, mengungkap alternatif suram untuk pahlawan yang ikonik. Judul Buku: Dorothy Must Die Penulis: Daniella Paige Penerbit: HarperCollins Tahun Terbit: 2014 Jumlah Halaman: 452 Amy Gumm, seorang gadis dari Kansas yang tidak begitu istimewa. Di sekolah, dia merasa diasingkan dan sering menjadi sasaran intimidasi. Ibunya tampak acuh tak acuh terhadapnya setelah ayahya meninggal, dan dia merasa benar -benar terisolasi. Suatu hari, sebuah pusaran menyerang Kansas dan membawanya ke negeri Oz. Namun, Oz bukan ranah yang penuh dengan keajaiban luar biasa seperti yang digambarkan. Di sini dia menemukan dunia yang dikuasai Dorothy, gadis yang baik hati, kini menjadi haus kekuasaan dan kejam. Dia menguasai Oz sesuka hatinya, mengeksploitasinya semata -mata untuk keuntungan pribadi. Amy yang hanya ingin pulang ke rumah, kini terjebak. Dia bertemu dengan kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan Dorothy dan mengembalikan Oz seperti semula. Amy harus beradaptasi dengan dunia sihir, dan menemukan bakat terpendam dalam dirnya demi bertahan. Sekarang dia hanya memiliki satu misi penting; membunuh Dorothy. Hal yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Danielle Paige berhasil mengubah perspektif kita tentang karakter yang sudah dikenal. Dorothy yang dulunya kita anggap sebagai pahlawan, kini menjadi sosok antagonis yang menakutkan. Sama seperti tokoh pemberontak, dalam cerita “The Wizard of Oz”, mereka digambarkan sebagai antagonis. Namun, saat kebaikan menjadi jahat, bahkan para Wicked tidak terlihat segitu kejamnya. Gaya penulisan Paige sangat mengalir dan mudah dipahami. Dia berhasil menciptakan suasana yang mendebarkan, membuat kita terus ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setiap bab penuh dengan kejutan dan ketegangan, sehingga sulit untuk meletakkan buku ini. Meskipun ada beberapa bagian yang terasa lambat, semua itu penting demi character building. Selain itu, karakter-karakternya juga relatable. Sang tokoh utama kami, Amy Gumm, bagaimana bisa kita tidak menyukainya. Dia berani, penuh antusiasme, insecure, dan yang paling penting, realistis. Bukan seperti tipikal tokoh utama yang sudah memiliki segalanya, dia tokoh yang justru tidak memiliki apa-apa. Amy, dengan semua kecemasannya membuat kita merasa lebih dekat dengannya. Beberapa kali Amy terjebak dalam situasi di mana arahan diberikan kepadanya, tapi dia selalu membuat keputusannya sendiri dan memetakan jalan. Dari situlah aku mulai menyukainya, karena motivasi Amy selalu tertuju pada membantu orang lain. Secara keseluruhan, buku “Dorothy Must Die” adalah bacaan yang memikat yang menawarkan sentuhan unik pada karya klasik yang sudah populer. Danielle Paige membuat narasi yang menarik dan substansial, menyelidiki motif tentang otoritas, kepribadian, dan dikotomi moralitas dan kedengkian. Kalau kamu menyukai cerita fantasia tau pertualangan yang sedikit gelap, buku ini wajib dibaca sih! Selamat membaca! Oleh Zahra Nafisa Syu’la Laili

Resensi “Dorothy Must Die” Read More »

Resensi “Serangkai” Valerie Patkar

Dengan penampilan sampul yang didominasi warna ungu gelap dan merah muda, barangkali kebanyakan orang akan menyimpulkan bahwa “Serangkai” kepunyaan Valerie Patkar membahas penuh mengenai romansa. Pandangan tersebut tidak salah, tetapi pembahasan di dalamnya lebih dari sekadar roman picisan. “Serangkai” mengangkat tema besar luka dan kehilangan. Judul Buku       : Serangkai Penulis             : Valerie Patkar Penerbit          : Bhuana Ilmu Populer Tahun Terbit   : 2021 Jumlah Halaman: 400 Kisah dibuka dengan kemunculan Kai Deverra yang spektakuler. Bagaimana tidak? Kai Deverra adalah seorang pembalap F1 yang mewakili tanah air dalam pagelaran balapan di Zandvoort, Belanda. Pembalap andalan BehIND itu rupanya masih tenggelam dalam pikirannya di tengah kencangnya laju kendaraan balap di lintasan. Bukannya tanpa alasan, tapi tak lain karena mantan kekasih sang Pembalap baru saja mengirimkan surat undangan pernikahan kepadanya setelah bertahun-tahun lalu Kai Deverra ditinggalkan, diselingkuhi oleh wanita itu. Serangkaian hal yang tidak berjalan sesuai dengan rencana, nyatanya justru mempertemukan Kai dengan seorang medis perempuan baru, Divas. Hubungan dokter dan pasien antara Kai dengan Divas pada mulanya tidak berjalan dengan baik, meskipun Divas menangani Kai dengan baik setelah adanya insiden di lapangan balap. Dari sudut pandang Kai, Divas terlalu kasar sebagai dokter, terlalu semena-mena. Dari sudut pandang Divas, Kai keras kepala, tapi justru terlihat lemah dengan memaksakan diri mengatakan dirinya baik-baik saja. Pada kenyataannya, sikap sok kuat yang ia terus komentari dari diri Kai, justru ada pada diri Divas sendiri. Sudah cukup lama, Divas terus menyalakan rokok, meskipun ia tidak merokok. Pukul enam sore seakan menjadi waktu yang sakral bagi Divas. Ditemani gummy bear warna-warni dan airpods yang menyumpal kupingnya, ia akan melamun, mendengarkan lagu “Kasih Tak Sampai” oleh Padi. Divas menolak berlama-lama berada di rumah yang dipenuhi kebahagiaan palsu selepas hilangnya sosok sang Kakak, Zacchio, dari hidup mereka. Kai dan Divas sepakat bahwa keduanya tidak menyukai satu sama lain selepas kejadian di Zandvoort. Keduanya tidak ingin terlibat lebih jauh. Tapi takdir selalu mengejutkan dengan segala permainannya. Kai dan Divas justru bertemu lagi, jauh dari Zandvoort, di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Kai dalam proses terapinya, Divas sebagai asisten dokter. Masih dibuai dalam permainan takdir yang mengikat keduanya, Kai kemudian menemukan bagaimana Divas termenung dalam lamunnya di ruangannya setiap pukul enam sore, meski si perempuan terus mengusir Kai dengan mengatakan bahwa ia sibuk. Kai menemukan ketenangan, kelegaan dalam hatinya justru selepas dihunjam kata-kata yang tak dapat disebut lembut dari Divas. Kai, dalam prosesnya ketika ia menemukan luka dalam diri Divas, berharap ia bisa menjadi obat layaknya kata-kata Divas yang menjadi obat bagi dirinya. Valerie Patkar melakukan pekerjaan hebat dalam menuangkan emosi dalam setiap lembar “Serangkai”. Gaya bahasa kekinian beresonansi dengan baik dengan jiwa-jiwa muda pengguna kata ganti “lo-gue”, meskipun pergantian maju-mundur linimasa terasa sedikit membingungkan karena terkesan melompat-lompat. Pembangunan masing-masing karakter juga terasa nyata, seakan Kai, Divas, Zacchio, Dhika, dan karakter-karakter lainnya itu memang merupakan orang-orang sungguhan dengan kisah yang sungguh terjadi, nun jauh di suatu sudut bumi. Pada akhirnya, “Serangkai” bukan milik Kai. “Serangkai” bukan milik Divas. “Serangkai” mengisahkan bagaimana kehilangan mungkin memang menciptakan luka pada setiap diri dan menjadi suatu fase yang tak perlu cepat-cepat dilewati atau ditutup dengan kasar. Luka itu mungkin perlu dinikmati sementara waktu, sembari merasakan perihnya hati yang menggerogoti raga dan pikiran, sembari merasakan asin air mata, sembari menunggu sosok yang tepat untuk kemudian bersama-sama sembuh dari luka. Oleh Manikam Mutiara Pertiwi

Resensi “Serangkai” Valerie Patkar Read More »