Yang Tak Pernah Ditanya
Jam istirahat siang kali ini tidak jauh berbeda dari biasa, suara tawa menggelegar, candaan-candaan aneh mulai terdengar dari segerombolan murid perempuan yang sedang menghabiskan makan siangnya di pojok kelas. Tawa mereka tidak berhenti bahkan justru bertambah keras karena candaan yang Lintang lontarkan lagi, Lintang sendiri juga ikut tertawa bersama mereka. “Lintang, kok lo bisa lucu banget, sih?!” Tidak jarang kata-kata itu keluar dari mulut teman-temannya, mereka sangat menyukai Lintang karena keramahan, keceriaan, dan kelucuan Lintang. Gadis itu pun senang jika melihat teman-temannya dapat tertawa dan bahagia karena dirinya, ia merasa bahwa hidupnya lebih tenang jika melihat teman-temannya tertawa bersamanya. Lintang banyak dikenal oleh teman-temannya di sekolah, ia gampang bergaul dan memiliki banyak teman dipenjuru sekolah. Lintang sendiri juga siswa yang aktif dalam perlombaan maupun organisasi di sekolah, menjadikan dirinya semakin di kenal oleh banyak orang. “Kerasa nggak sih bentar lagi udah mau tes masuk perguruan tinggi?” Salah satu temannya tiba-tiba berceletuk, teman-teman yang lain hanya mengangguk setuju, suasana tiba-tiba jadi hening. “Lo semua udah pada nentuin mau kemana?” Tanya Lintang. Teman-temannya mengangguk, mereka berebutan menjawab pertanyaan Lintang dengan antusias, disertai impian-impian yang ingin mereka jalankan setelah keterima di perguruan tinggi yang mereka inginkan. Lintang hanya bisa tersenyum dan tertawa melihat teman-temannya sangat antusias dan yakin dengan mimpi mereka, karena Lintang sendiri, belum bisa memastikan impiannya bisa berjalan dengan baik atau tidak. Pukul 5 sore, Lintang kembali ke rumahnya setelah menjalani seharian kegiatan di sekolah selama hampir seharian, beruntungnya bimbel hari ini selesai lebih cepat. Ia merasa sangat lelah dan ingin segera mandi lalu tidur, namun kondisi di rumahnya membuat ia mengurungkan niatnya. “Lintang, sudah beberapa kali mama bilang kalau mama dan papa mau kamu masuk kedokteran bukan arsitek?” Mama, selalu seperti ini, hampir setiap saat seperti ini ketika dirinya mengetahui Lintang masih ingin masuk arsitek. Lintang hanya menghembuskan nafas dan mengangguk. “Mama menemukan hasil ulangan biologi kamu rendah, Lintang. Kamu sengaja merendahkan nilai kamu supaya tidak masuk kedokteran? Lintang, kamu harapan satu-satunya kami.” Satu lagi, mama juga sering mengatakan hal yang bukan sebenarnya, seperti ini contohnya. Lintang sendiri pun lelah menanggapinya. “Ma, ini baru pertama kali nilai biologi Lintang rendah. Lagian, ma, Lintang tetap bisa jadi harapan mama dan papa meskipun Lintang tidak ingin jadi dokter, benar, kan?” “Tapi kami inginnya kamu jadi dokter, Lintang!” Tuh, kan? Mama semakin marah. “Ma, mama sendiri tahu kan kalau Lintang suka menggambar sejak kecil?” Mama memijat pelipisnya dan menghembus napas, berusaha mengontrol amarahnya. Setelah merasa dirinya tenang, mama mendekat dan memegang bahuku. “Iya, mama tahu, Lintang. Dan itu salah mama karena membiarkan hobi itu berakhir menjadi mimpimu. Lintang, tolong pahami mama dan papamu ini, sekali saja. Mama dan papa janji tidak akan menuntut apa-apa lagi setelah kamu jadi dokter.” “Ma, apa salahnya Lintang suka menggambar dan menjadi arsitek?” Lintang bertanya dengan wajah pasrah dan memohon. “Tidak ada salahnya kamu suka menggambar, Lintang. Hanya saja, menjadikan hobimu sebagai pekerjaanmu nanti, tidak terlalu bagus menurut mama dan papa. Kamu tahu kak Asha tetangga kita? Ia sukses setelah menjadi dokter, mama dan papa ingin kamu menjadi seperi dia, Lintang.” Lintang melihat mama dengan wajah memohon, hampir mengeluarkan air mata. Ia hendak berbicara lagi, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. “Percaya pada kami, Lintang. Mama dan papa hanya ingin yang terbaik bagimu.” Lintang mengangguk sebelum pergi ke kamarnya dan menyalakan lampu kamarnya. Kamarnya yang penuh dengan lukisan bangunan-bangunan itu membuat merasa semakin sedih, ia menghembuskan napas dan duduk di kursi meja belajarnya, menjatuhkan kepalanya ke meja dan merasakan air mata yang sudah ia tahan sedari tadi menetes, ia bertahan dalam posisinya untuk beberapa menit sebelum kembali mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya. Ia menatap pada foto polaroid yang terletak di meja belajarnya, foto dirinya dan kakak perempuannya terpampang disana. Kakak perempuannya, Liana, adalah satu-satunya orang yang mengerti tentang rasa lelah dan tertekannya atas tuntutan yang diderita Lintang selama ini. Ia menjadi teman cerita satu-satunya Lintang, hanya Liana yang membuat Lintang berani terbuka mengenai penderitaannya selama ini. Karena merasa lelah dengan tuntutan yang ia dapatkan akhir-akhir ini dan Lintang merasa tuntutan yang diberikan orang tuanya lebih parah daripada sebelum-sebelumnya, belum lagi agenda kelas 12 yang sangat padat, bimbel sampai malam, try out setiap minggu, Lintang merasa dirinya sangat lelah. Lintang menjadi lebih pendiam dari biasanya, tidak membalas pesan baik pesan pribadi maupun di grup, keceriaannya juga menghilang seketika, bahkan matahari tenggelam tidak secepat hilangnya keceriaan Lintang. Memang kebiasaan Lintang seperti itu, jika ia merasa lelah dan jenuh, ia akan menghilang lalu kembali seperti biasa. Namun tidak ada yang peduli, termasuk teman-teman dekatnya. Sampai suatu malam, ia mendapat pesan dari teman sebangkunya, Gita, ia anak baru di kelasnya, namun mereka sudah cukup dekat. “Lo beneran baik-baik aja?” Pesan Gita muncul dinotifikasi ponsel Lintang saat Lintang sedang meratapi nasibnya sembari merebahkan diri di kasur. “Gua gapapa, lagi pms aja makanya mood gua lagi jelek.” Lintang menaruh ponselnya setelah menjawab pesan dari Gita dan memeluk bonekanya. Ditanya seperti itu membuat dirinya terlihat semakin miris dimatanya, ia hanya bisa menangis semalaman. Seminggu kemudian, pekan ujian semakin dekat, membuat semua orang sibuk melengkapi catatan mereka termasuk Lintang dan Gita. Catatan mereka banyak dipinjam oleh teman-teman lainnya, termasuk Gita yang hendak meminjam catatan Lintang. “Lin, gua pinjam catetan lo, boleh?” Lintang yang masih sibuk dengan catatan yang sedang ia lengkapi, tidak menoleh sedikitpun ke arah Gita dan hanya mengangguk tanpa memedulikan buku catatan apa yang Gita ambil. “Ya, pinjem aja. Tapi, tulisan gua jelek.” “Lo nggak liat tulisan gua lebih jelek dari tulisan lo?” Gita tertawa sembari mengambil buku catatan Lintang secara sembarang, namun tak lama kemudian ia mengembalikannya lagi, Gita juga hanya memandang Lintang dengan tatapan iba. “Kenapa dibalikin bukunya? Ngapain juga lo ngeliatin gua begitu?” Tanya Lintang. “Nggak, gua cuman salah ambil buku, gua mau ambil catetan Fisika malah keambil Kimia.” Gita menjawab dengan sedikit kikuk karena takut ketahuan bahwa ia salah mengambil buku catatan hariannya. Gita menatap Lintang dengan cukup lama dengan perasaan iba, namun ia tidak langsung bicara. Tapi keesokan harinya, ia datang lebih pagi ke sekolah, meletakkan roti dan susu di meja Lintang dengan catatan: “Lo
Yang Tak Pernah Ditanya Read More »