Infographic Poster: “Using Social Media Wisely”
Infographic Poster: “Using Social Media Wisely” Read More »
written by: Salma X-2 It was mid-summer of 2021, online school was at its peak and thick eyeliner was the new trend. I was 12, a dangerous age to be in when you’re stuck inside with nothing but the internet to go to for entertainment. I was picking out my profile picture on instagram( settled on a galaxy picture, i think i missed 2017 a bit there) and saw something on my homepage. It was an illustration with about 2k likes or so. I vividly remember what i had felt at the time. I was completely mesmerized, how can someone just do that? to create something out of nothing? See something as complex as a human face and crafted a rendition that was so unique on their own? I stared at the picture for a long time (and probably made my brain forget what it was because I can’t remember for the life of me) . That’s when i picked up my old pencil. It was rough and chewed on the edges yet still endured my academic career. I placed down a line. That was where it all began. I started drawing girls with cheap markers (blue hair and gold earrings usually), then comics about two girls on their new cafes opening, and fanart for my favorite youtubers at the time. I eventually moved on to digital art because my mom (bless her heart) recognized my growing knack for scribbling down lines and decided to buy me a tablet with a stylus pen I had abused the hell out of. The thing that started as me wanting to find a new hobby in the pandemic turned into part of my identity. It’s a bit dramatic, but I don’t think I can go back to life before drawing. Even a simple doodle had done wonders for me as a person (it’s a domino effect, but still). Now, I want to go and major in something art related for college (hopefully at one of my country’s top universities aamiin) . I know this isn’t the most exciting of stories, but it is a story that I hold close to my heart. If you made it to this sentence then please, get out there! Find what makes your brain tick and your life have meaning! Or maybe something you just like doing! Whatever it is, there is no better hobby or passion, because the spark that comes from them will always be understood. Whether you’re an adjusted adult or a 12 year old stuck in the pandemic. Go and create.
A Moment That Changed My Life Read More »
Dengan penampilan sampul yang didominasi warna ungu gelap dan merah muda, barangkali kebanyakan orang akan menyimpulkan bahwa “Serangkai” kepunyaan Valerie Patkar membahas penuh mengenai romansa. Pandangan tersebut tidak salah, tetapi pembahasan di dalamnya lebih dari sekadar roman picisan. “Serangkai” mengangkat tema besar luka dan kehilangan. Judul Buku : Serangkai Penulis : Valerie Patkar Penerbit : Bhuana Ilmu Populer Tahun Terbit : 2021 Jumlah Halaman: 400 Kisah dibuka dengan kemunculan Kai Deverra yang spektakuler. Bagaimana tidak? Kai Deverra adalah seorang pembalap F1 yang mewakili tanah air dalam pagelaran balapan di Zandvoort, Belanda. Pembalap andalan BehIND itu rupanya masih tenggelam dalam pikirannya di tengah kencangnya laju kendaraan balap di lintasan. Bukannya tanpa alasan, tapi tak lain karena mantan kekasih sang Pembalap baru saja mengirimkan surat undangan pernikahan kepadanya setelah bertahun-tahun lalu Kai Deverra ditinggalkan, diselingkuhi oleh wanita itu. Serangkaian hal yang tidak berjalan sesuai dengan rencana, nyatanya justru mempertemukan Kai dengan seorang medis perempuan baru, Divas. Hubungan dokter dan pasien antara Kai dengan Divas pada mulanya tidak berjalan dengan baik, meskipun Divas menangani Kai dengan baik setelah adanya insiden di lapangan balap. Dari sudut pandang Kai, Divas terlalu kasar sebagai dokter, terlalu semena-mena. Dari sudut pandang Divas, Kai keras kepala, tapi justru terlihat lemah dengan memaksakan diri mengatakan dirinya baik-baik saja. Pada kenyataannya, sikap sok kuat yang ia terus komentari dari diri Kai, justru ada pada diri Divas sendiri. Sudah cukup lama, Divas terus menyalakan rokok, meskipun ia tidak merokok. Pukul enam sore seakan menjadi waktu yang sakral bagi Divas. Ditemani gummy bear warna-warni dan airpods yang menyumpal kupingnya, ia akan melamun, mendengarkan lagu “Kasih Tak Sampai” oleh Padi. Divas menolak berlama-lama berada di rumah yang dipenuhi kebahagiaan palsu selepas hilangnya sosok sang Kakak, Zacchio, dari hidup mereka. Kai dan Divas sepakat bahwa keduanya tidak menyukai satu sama lain selepas kejadian di Zandvoort. Keduanya tidak ingin terlibat lebih jauh. Tapi takdir selalu mengejutkan dengan segala permainannya. Kai dan Divas justru bertemu lagi, jauh dari Zandvoort, di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Kai dalam proses terapinya, Divas sebagai asisten dokter. Masih dibuai dalam permainan takdir yang mengikat keduanya, Kai kemudian menemukan bagaimana Divas termenung dalam lamunnya di ruangannya setiap pukul enam sore, meski si perempuan terus mengusir Kai dengan mengatakan bahwa ia sibuk. Kai menemukan ketenangan, kelegaan dalam hatinya justru selepas dihunjam kata-kata yang tak dapat disebut lembut dari Divas. Kai, dalam prosesnya ketika ia menemukan luka dalam diri Divas, berharap ia bisa menjadi obat layaknya kata-kata Divas yang menjadi obat bagi dirinya. Valerie Patkar melakukan pekerjaan hebat dalam menuangkan emosi dalam setiap lembar “Serangkai”. Gaya bahasa kekinian beresonansi dengan baik dengan jiwa-jiwa muda pengguna kata ganti “lo-gue”, meskipun pergantian maju-mundur linimasa terasa sedikit membingungkan karena terkesan melompat-lompat. Pembangunan masing-masing karakter juga terasa nyata, seakan Kai, Divas, Zacchio, Dhika, dan karakter-karakter lainnya itu memang merupakan orang-orang sungguhan dengan kisah yang sungguh terjadi, nun jauh di suatu sudut bumi. Pada akhirnya, “Serangkai” bukan milik Kai. “Serangkai” bukan milik Divas. “Serangkai” mengisahkan bagaimana kehilangan mungkin memang menciptakan luka pada setiap diri dan menjadi suatu fase yang tak perlu cepat-cepat dilewati atau ditutup dengan kasar. Luka itu mungkin perlu dinikmati sementara waktu, sembari merasakan perihnya hati yang menggerogoti raga dan pikiran, sembari merasakan asin air mata, sembari menunggu sosok yang tepat untuk kemudian bersama-sama sembuh dari luka. Oleh Manikam Mutiara Pertiwi
Resensi “Serangkai” Valerie Patkar Read More »
Waktu berjalan dengan cepat 5 hingga 6 tahun tak terpandang Sang lebih tua pergi mengembala Ke seberang untuk membara Walau hati terasa gembira Melihat perjuangannya yang menantang Terdapat kesepian dan kerinduan yang tak terungkapkan Di dalam rumah sunyi dan tenang Si bungsu terdiam Mengingat masa-masa lampau indah Sudahlah terbawa arus waktu terjam Meski tak sabra menanti Sang bungsu mengerti Bahwa hidup tak selalu yang diingini – Nashwa Shabrina A. P.
Di malam senyap, pijar lampu remang-remang Antara kita terduduk di tengah ruang Tanpa kata, tanpa suara Rembulan redup, tenggelam Waktu yang berjalan terhenti sejenak Terpaku oleh tatapanmu, di sana kuliat kita dansa tanpa memikir apa yang terjadi kelak Detik berlalu, lambat laun nafasku memburu Bibir mu tertahankan layaknya ada sesuatu Hari ini, kubuang segala sentimen itu Tergerak lisan ini, “Kita ini bagaimana?” “Tanyakan itu pada diri kita masing-masing” Berair netraku, kau menjauh dan kuliat dari sini punggungmu – Tyas Nisrina
Konferensi Tanpa Kesimpulan Read More »