smamuhammaditahpkkottabarat@gmail.com

Close-up of hand writing in notebook using a blue pen, focus on creativity.

Yang Tak Pernah Ditanya

Jam istirahat siang kali ini tidak jauh berbeda dari biasa, suara tawa menggelegar, candaan-candaan aneh mulai terdengar dari segerombolan murid perempuan yang sedang menghabiskan makan siangnya di pojok kelas. Tawa mereka tidak berhenti bahkan justru bertambah keras karena candaan yang Lintang lontarkan lagi, Lintang sendiri juga ikut tertawa bersama mereka. “Lintang, kok lo bisa lucu banget, sih?!” Tidak jarang kata-kata itu keluar dari mulut teman-temannya, mereka sangat menyukai Lintang karena keramahan, keceriaan, dan kelucuan Lintang. Gadis itu pun senang jika melihat teman-temannya dapat tertawa dan bahagia karena dirinya, ia merasa bahwa hidupnya lebih tenang jika melihat teman-temannya tertawa bersamanya. Lintang banyak dikenal oleh teman-temannya di sekolah, ia gampang bergaul dan memiliki banyak teman dipenjuru sekolah. Lintang sendiri juga siswa yang aktif dalam perlombaan maupun organisasi di sekolah, menjadikan dirinya semakin di kenal oleh banyak orang. “Kerasa nggak sih bentar lagi udah mau tes masuk perguruan tinggi?” Salah satu temannya tiba-tiba berceletuk, teman-teman yang lain hanya mengangguk setuju, suasana tiba-tiba jadi hening. “Lo semua udah pada nentuin mau kemana?” Tanya Lintang. Teman-temannya mengangguk, mereka berebutan menjawab pertanyaan Lintang dengan antusias, disertai impian-impian yang ingin mereka jalankan setelah keterima di perguruan tinggi yang mereka inginkan. Lintang hanya bisa tersenyum dan tertawa melihat teman-temannya sangat antusias dan yakin dengan mimpi mereka, karena Lintang sendiri, belum bisa memastikan impiannya bisa berjalan dengan baik atau tidak. Pukul 5 sore, Lintang kembali ke rumahnya setelah menjalani seharian kegiatan di sekolah selama hampir seharian, beruntungnya bimbel hari ini selesai lebih cepat. Ia merasa sangat lelah dan ingin segera mandi lalu tidur, namun kondisi di rumahnya membuat ia mengurungkan niatnya. “Lintang, sudah beberapa kali mama bilang kalau mama dan papa mau kamu masuk kedokteran bukan arsitek?” Mama, selalu seperti ini, hampir setiap saat seperti ini ketika dirinya mengetahui Lintang masih ingin masuk arsitek. Lintang hanya menghembuskan nafas dan mengangguk. “Mama menemukan hasil ulangan biologi kamu rendah, Lintang. Kamu sengaja merendahkan nilai kamu supaya tidak masuk kedokteran? Lintang, kamu harapan satu-satunya kami.” Satu lagi, mama juga sering mengatakan hal yang bukan sebenarnya, seperti ini contohnya. Lintang sendiri pun lelah menanggapinya. “Ma, ini baru pertama kali nilai biologi Lintang rendah. Lagian, ma, Lintang tetap bisa jadi harapan mama dan papa meskipun Lintang tidak ingin jadi dokter, benar, kan?” “Tapi kami inginnya kamu jadi dokter, Lintang!” Tuh, kan? Mama semakin marah. “Ma, mama sendiri tahu kan kalau Lintang suka menggambar sejak kecil?” Mama memijat pelipisnya dan menghembus napas, berusaha mengontrol amarahnya. Setelah merasa dirinya tenang, mama mendekat dan memegang bahuku. “Iya, mama tahu, Lintang. Dan itu salah mama karena membiarkan hobi itu berakhir menjadi mimpimu. Lintang, tolong pahami mama dan papamu ini, sekali saja. Mama dan papa janji tidak akan menuntut apa-apa lagi setelah kamu jadi dokter.” “Ma, apa salahnya Lintang suka menggambar dan menjadi arsitek?” Lintang bertanya dengan wajah pasrah dan memohon. “Tidak ada salahnya kamu suka menggambar, Lintang. Hanya saja, menjadikan hobimu sebagai pekerjaanmu nanti, tidak terlalu bagus menurut mama dan papa. Kamu tahu kak Asha tetangga kita? Ia sukses setelah menjadi dokter, mama dan papa ingin kamu menjadi seperi dia, Lintang.” Lintang melihat mama dengan wajah memohon, hampir mengeluarkan air mata. Ia hendak berbicara lagi, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. “Percaya pada kami, Lintang. Mama dan papa hanya ingin yang terbaik bagimu.” Lintang mengangguk sebelum pergi ke kamarnya dan menyalakan lampu kamarnya. Kamarnya yang penuh dengan lukisan bangunan-bangunan itu membuat merasa semakin sedih, ia menghembuskan napas dan duduk di kursi meja belajarnya, menjatuhkan kepalanya ke meja dan merasakan air mata yang sudah ia tahan sedari tadi menetes, ia bertahan dalam posisinya untuk beberapa menit sebelum kembali mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya. Ia menatap pada foto polaroid yang terletak di meja belajarnya, foto dirinya dan kakak perempuannya terpampang disana. Kakak perempuannya, Liana, adalah satu-satunya orang yang mengerti tentang rasa lelah dan tertekannya atas tuntutan yang diderita Lintang selama ini. Ia menjadi teman cerita satu-satunya Lintang, hanya Liana yang membuat Lintang berani terbuka mengenai penderitaannya selama ini. Karena merasa lelah dengan tuntutan yang ia dapatkan akhir-akhir ini dan Lintang merasa tuntutan yang diberikan orang tuanya lebih parah daripada sebelum-sebelumnya, belum lagi agenda kelas 12 yang sangat padat, bimbel sampai malam, try out setiap minggu, Lintang merasa dirinya sangat lelah. Lintang menjadi lebih pendiam dari biasanya, tidak membalas pesan baik pesan pribadi maupun di grup, keceriaannya juga menghilang seketika, bahkan matahari tenggelam tidak secepat hilangnya keceriaan Lintang. Memang kebiasaan Lintang seperti itu, jika ia merasa lelah dan jenuh, ia akan menghilang lalu kembali seperti biasa. Namun tidak ada yang peduli, termasuk teman-teman dekatnya. Sampai suatu malam, ia mendapat pesan dari teman sebangkunya, Gita, ia anak baru di kelasnya, namun mereka sudah cukup dekat. “Lo beneran baik-baik aja?” Pesan Gita muncul dinotifikasi ponsel Lintang saat Lintang sedang meratapi nasibnya sembari merebahkan diri di kasur. “Gua gapapa, lagi pms aja makanya mood gua lagi jelek.” Lintang menaruh ponselnya setelah menjawab pesan dari Gita dan memeluk bonekanya. Ditanya seperti itu membuat dirinya terlihat semakin miris dimatanya, ia hanya bisa menangis semalaman. Seminggu kemudian, pekan ujian semakin dekat, membuat semua orang sibuk melengkapi catatan mereka termasuk Lintang dan Gita. Catatan mereka banyak dipinjam oleh teman-teman lainnya, termasuk Gita yang hendak meminjam catatan Lintang. “Lin, gua pinjam catetan lo, boleh?” Lintang yang masih sibuk dengan catatan yang sedang ia lengkapi, tidak menoleh sedikitpun ke arah Gita dan hanya mengangguk tanpa memedulikan buku catatan apa yang Gita ambil. “Ya, pinjem aja. Tapi, tulisan gua jelek.” “Lo nggak liat tulisan gua lebih jelek dari tulisan lo?” Gita tertawa sembari mengambil buku catatan Lintang secara sembarang, namun tak lama kemudian ia mengembalikannya lagi, Gita juga hanya memandang Lintang dengan tatapan iba. “Kenapa dibalikin bukunya? Ngapain juga lo ngeliatin gua begitu?” Tanya Lintang. “Nggak, gua cuman salah ambil buku, gua mau ambil catetan Fisika malah keambil Kimia.” Gita menjawab dengan sedikit kikuk karena takut ketahuan bahwa ia salah mengambil buku catatan hariannya. Gita menatap Lintang dengan cukup lama dengan perasaan iba, namun ia tidak langsung bicara. Tapi keesokan harinya, ia datang lebih pagi ke sekolah, meletakkan roti dan susu di meja Lintang dengan catatan: “Lo

Yang Tak Pernah Ditanya Read More »

Keris Itu Selalu di Atma

Keris itu slalu di atma. Warisan yang tak pernah angkara. Ia dapat menjelma alat murka, membawa derita lalu kesengsaraan Mampu pula membawa insan menuju samudra kebijaksanaan   Keris itu slalu di atma. Tak seperti pedang yang bersinar gagah nan wibawa. Ia mengajarkan hati yang rendah.   Keris itu slalu di atma. Sejak Ken Arok menantang takdir di Singosari sana. Empu Gandring tempa pusaka, jadi saksi bisu darah mengalir. Kala ambisi meraja, nafsu menggilas nurani yang lirih.   Keris itu slalu di atma. Waktu membawa kisah di Tanah Jawa. Syahdan, Diponegoro membawa cahaya. Keris suci menebas gelap, melawan kaum yang tertindas penjajah durhaka.   Keris itu slalu di atma. Posisiya di belakang, bukan di depan. Menghormati sesame, menghargai liyan. Bukan tuk memamerkan kehebatan diri.   Keris itu slalu di atma, yang akan lanjutkan anutan. Tidak sirna lewati masa, bertahan di tengah denyut peradaban   FLS3N Oleh: Muhammad Aldyansah Yoga Pratama Cabang lomba: cipta puisi

Keris Itu Selalu di Atma Read More »

TEMARAM

Rupanya dunia terlalu kejamSampai sampai Ia tersungkur dihadapan kebenaranTak tahu apa yang bisa diperbuatNamun hati kecilnya sulit berucap Ia berpikir dunia berpihak padanyaSeketika lupa pada apa yang telah dilakukannyaKesalahan yang disangka benarBertaruh melawan egonya sendiri Seolah tak pernah salahMenutup mata pada apa yang sebenarnya terjadiKepercayaan yang terus dikecewakanDan janji yang terus diingkari Ia kehilangan arahTerjebak pada kisah yang dikarangnya sendiriKesunyian pun hadirMenggantikan kicauan yang perlahan pergi meninggalkannya Seolah tak tahu apa apaIa terus bertanya mengapa ini semua terjadiEntah sampai kapan, namun keberadaanya terus diasingkanHingga sang terang datang membawanya pada kebenaran Oleh: Sausan Alayna .A / XI-1

TEMARAM Read More »

Cinta bernama Sepak Bola

Dengan cinta didalam sepak bola Di dalam kehidupan yang hampa Terdapat sebuah cinta Dengan nama lain sepak bola Selalu mendukung tim kebanggaan Dengan jerih payah perjuangan Yang tak lepas dari sebuah harapan Di bawah senja Dengan dukungan yang membara Menunjukkan apa arti dari setia Kekalahan dan kemenangan kita lewati Dengan semangat yang tiada henti Di atas tribun kita berjanji Cinta ini akan selalu abadi Oleh: Hannan Abdillah XI-1

Cinta bernama Sepak Bola Read More »

Urip Angel

Jahitan sutra yang tersimpan di ruang kelabu Arum duri yang tersampaikan hingga suaka satu Kunci ruang menjangkar kunci yang laib Erat yang pasti, namun cahaya tetap lalu   Terang bulan penjaga ruang Merangkul diri dengan bintang Udah murni cahaya, tak menyebar yang kurang   Berjalan di dunia dengan petunjuk yang dia bawa Antara gelap yang nggawe buta Nalika udan sudah lalu Ya jadi busur sang dewa Anggun yang sayangnya cepat lalu Kaca yang padat tak cair dia tak bisa   Berjalan di tebing yang ramai Angin melolong di puncak, bagai badai Namun barat sudah tidur lela Gawe gelo orang yang terlanjur bahagia   Equilibrium hidup sang bunga. Ituah dia Teratai cantik, melati suci. Semua menggambarkannya Sayangnya sakit. Jadi pelita tanpa melihat satu lainnya Andaikan, hanya satu malam saja petunjuk lain menyala baginya   Oleh: Alanendra Abhyasa .R XI-4

Urip Angel Read More »

A child facing bullying while sitting in a library against bookshelves, depicting harassment and isolation.

Hilang di Awan

Aku bersekolah di suatu SMA negeri di Hokkaido, Jepang. Hari-hari yang kujalani terasa berat. Setiap hari, aku hanya bisa menatap mejaku yang dipenuhi dengan coretan-coretan teman-teman sekelasku. Tetapi, setidaknya pemandangan pantai di luar jendela bisa menghiburku. KRRRINGGGGGG… KRRIIIINGGGGG… Dering lonceng istirahat telah berbunyi. Hanya ingin memakan bekalku pun aku tidak tenang. Gerombolan cewek-cewek itu tetap menggangguku. “Hei, bocah! Kenapa sekarang nasimu basah?” kata Horimi dengan nada mengejeknya. Ya, dia adalah ketua dari geng cewek-cewek itu, seorang gadis popular di angkatanku. Horimi cantik, tapi tidak dengan hatinya, “Apa yang kau mau, huh?” balasku, berusaha untuk melawannya. “Aku hanya melihat nasimu cukup kering. Hanya itu.” Setelah itu, mereka pergi begitu saja dengan langkah sombong. Tetap kulanjutkan memakan nasi yang sudah disiram itu. Nasi ini cukup aneh rasanya. Coba kalian bayangkan memakan nasi yang dicampur dengan cokelat? Ew! Menjijikkan! Meskipun begitu, mau tidak mau aku tetap memakan nasi itu. Begitulah hari-hariku terus berlalu, tanpa teman, selalu diejek, dipandang sebagai ‘Si Gadis Pendiam’. Kenapa mereka selalu melihat fisikku saja? Menurutku fisikku ini hanyalah suatu perubahan pubertas yang disebabkan oleh hormone. Nilai-nilaiku pun tidak seburuk nilai mereka. Tapi, jika boleh jujur, kehidupan sekolah justru lebih baik daripada di rumah. Ibu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Setiap malam, yang kudengar hanyalah pertengkaran mereka. Tentu saja itu bukanlah urusanku, tetapi dampaknya tetap sampai padaku. Perlakuan mereka padaku pun cukup kasar. Mereka memukul, membentak, dan tak sekalipun terasa menyayangiku. *** “Kyamii, kau sudah pulang?” Tanya ibuku dengan sangat lembut. Aku merasakan ada yang aneh pada ucapan Ibu. Saat aku menoleh kepadanya, aku melihat beberapa lebam di tangan dan kakinya. Yang paling mengerikan, dia membawa teko berisi air mendidih. Mataku seketika terbelalak. Ibu menyiramkan air mendidih itu kepadaku. Untungnya, aku dapat menghindar dengan cepat, meskipun tetap saja lengan kananku terkena imbasnya. “Ibu sudah gila?!” teriakku. “Di mana Ayah?!” Aku segera berlari ke luar rumah, mendekat ke arah bendungan. Kusiramkan air keran pada lengan kananku. Setelahnya, aku duduk di rerumputan dan mengembuskan napas. “Huft… Semua orang gila.” Lengan kananku masih perih akibat air mendidih yang disiramkan oleh Ibu kepadaku tadi. Dalam renunganku tentang kejadian yang tak pernah kusangka tadi, kudengar samar-samar percakapan orang lain, tak jauh dari tempatku duduk. “Ayo, Nak, sudah mau malam. Waktunya pulang. Tadi ibu masak sup miso dengan ikan tuna.” Suara tersebut mematahkan kebengonganku. Aku menoleh. Suara itu ternyata ibu dari seoorang anak yang sedang bermain di samping bendungan. Air mataku bercucuran tidak keruan. Kenapa??! Kenapa hidupku harus seperti ini??? Sebenarnya aku ini siapa?! Seorang anak di luar nikah? Anak haram? Kehidupan sekolahku hancur. Kehidupanku di rumah seperti neraka. Sebetulnya aku ini apa???! Menatap gumpalan awan-awan dan langit berwarna oranye, aku mulai tersadar bahwa kepribadianku adalah potongan-potongan dari kepribadian orang lain. Hidupku juga hanya diatur oleh orang lain tanpa pernah melawan. Langit semakin gelap diikuti angin yang berembus kencang. Bulan mulai terlihat. Semuanya telah berganti, tapi tidak dengan Sang Awan. Dia tetap berada di sana, siang dan malam, meskipun bisa menjadi awan hitam. Aku mulai kelaparan. Aku merogoh kantungku, “Lumayan, 1000 yen.” Aku pergi ke supermarket terdekat untuk membeli ramen instan dan cokelat panas sebagai obat lapar. Untunglah besok hari Sabtu, jadi aku tidak masuk sekolah. Aku sempat ketiduran di kursi supermarket selama beberapa jam. Saat aku terbangun, aku memberanikan diriku untuk pulang ke rumah. Aku membuka pintu rumah. Rumah terasa sunyi. Aku naik ke lantai atas dan berusaha untuk tidur. Tidurku terganggu oleh suara mereka lagi, suara pertengkaran yang tak pernah berhenti. *** Hari ini adalah hari pengumuman ranking.  Aku berada pada ranking 1 di kelas dan ranking 5 paralel. Tetapi sayangnya, ada yang benci karena aku mendapatkan ranking atas lagi. Mereka membicarakan tentang mengapa gadis seperti aku bisa mendapatkan peringkay atas. Mereka bahkan menyebarkan hoaks. Tetapi Amane menyelamatiku, “Selamat ya, Kyamii.” Amane adalah murid yang rankingnya pas di bawahku. Aku membalas ucapannya dengan ujaran terima kasih yang sangat pelan. Sejujurnya, dia adalah teman sekelas yang sangat baik. KRRRRIIIIINGGGG… KRRIIIIINNNGGGG… Bunyi dering bel menandakan jam ke-2, yaitu jam pelajaran olahraga. Semua mata masih melihatku dengan sinis, tapi aku tidak peduli. Semua berjalan lancar sampai ketika aku berlari, beberapa gadis itu menarik tali yang sengaja mereka siapkan agar aku terjatuh. “Aaah!!” pekikku. Tiba-tiba, ada seorang cowok yang menarikku berdiri, “Kau tidak apa-apa?” katanya. Saat aku mendongak, ternyata dia adalah pacarnya Horimi. Aku langsung bangkit dan pergi. Para gadis itu langsung mengadukan kejadian barusan kepada Horimi, tentu saja. *** “Aaak! Lepaskan aku!” teriakku. Rambutku dijambak, kepalaku diseret dan dimasukkan ke dalam lubang toilet. “Berani sekali kau caper1 ke pacarku?!” bentak Horimi dengan kasar. Di sana, aku dibully oleh mereka. Ini sangat menyakitkan. Hampir setengah jam berlalu, badanku sakit semua. Aku mengganti pakaian olahragaku dengan seragam biasa, kemudian masuk kelas seolah tak terjadi apapun. Coretan di mejaku semakin banyak, bahkan mereka sekarang menyebarkan hoaks kalau aku ini seorang pelakor2. *** Pekan proyek sudah hampir tiba. Kami semua menyiapkannya satu kelas supaya kelas kami juara. “Temui aku di jembatan belakang sekolah jam 7 malam,” secarik kertas di laciku berujar, tetapi persiapan proyek ini sampai pukul 8 malam, jadi aku izin kepada ketua kelas untuk pergi sebentar. Aku menunggu orang itu selama beberapa menit, tapi dia tak kunjung datang. Ding. Lampu di sekitarku tiba-tiba padam. Aku mulai sadar kalau ini adalah jebakan. Aku didorong oleh seseorang sampai terjatuh. “AAAAH!! Tolong!!” tanganku meraih ujung jembatan. Seseorang menghampiri dan menolongku. “Tenang! Akan kutarik!” Sudah terlambat, aku terjatuh ke sungai. *** Aku terbangun di atas ranjang rumah sakit. “Heizou, kau sudah bangun?” Tanya seorang wanita. Tunggu dulu, namaku bukan Heizou. Siapa aku ini? Aku melihat seluruh tubuhku dan tersadar bahwa ini adalah tubuh teman sekelasku, Heizou, pacarnya Horimi. Kepalaku benar-benar pusing dan aku pun kembali pingsan. “Heizou, kau tidak seharusnya menolong gadis itu,” Wanita tadi langsung berkata saat aku mulai siuman. Aku pun bertanya apa yang terjadi dan wanita itu menjelaskan, “Gadis yang kau selamatkan sekrang dalam keadaan koma. Semoga saja dia masih hidup.” Beberapa jam berlalu, aku merasa sangat nyaman dengan kehangatan wanita yang ternyata Ibu Heizou itu. Hidupku 180 derajat berbalik, berubah total! Tidak,

Hilang di Awan Read More »

Lost of Hope

Pada suatu hari, ada seorang wanita buruk rupa yang sangat mengidam-idamkan sebuah kecantikan karena selama ini ia yang buruk rupa selalu dikucilkan, dihina, dan dicaci maki oleh masyarakat, sedangkan yang memiliki kecantikan selalu dipuja-puja. Oleh karena itu, ia akan melakukan apa saja demi mendapatkan kecantikan itu.  Ada legenda di negeri itu yang mengatakan bahwa di darkness forest terdapat sebuah gua yang dapat mengabulkan semua permintaanmu, tetapi setiap permintaan pasti memiliki bayaran yang sepadan. Wanita buruk rupa ini pun menemukan gua tersebut, tetapi sampai sekarang ia belum pernah ditemukan kembali.   ***   Aku bernama Mary dan sekarang aku bekerja di bar untuk mencakupi kehidupanku. Apakah kamu kira aku adalah seorang bartender keren yang menyiapkan pesanan customer? Salah. Walaupun aku bekerja di bar, aku hanyalah seorang tukang bersih-bersih yang mencuci peralatan makan dan membereskan semua kekacauan yang terjadi di bar ini. Tidak jarang aku mendapatkan perlakuan kasar dari para customer atau bahkan dari rekan kerjaku sendiri. Yah, memang aku hanyalah seorang yang buruk rupa, yatim piatu, dan miskin. “Pantas saja aku mendapatkan perlakuan yang hina seperti itu,” pikirku. Aku masih bisa hidup sampai sekarang saja sudah menjadi suatu keajaiban bagiku. Saat aku sedang membersihkan lantai di bar tempatku bekerja, aku tak sengaja mendengar bahwa budak milik pemilik bar ini mati karena bekerja terlalu berat. Itu merupakan hal yang biasa terjadi di sini. Kemudian orang-orang itu mengganti topik pembicaraan tentang sebuah legenda yang mengatakan bahwa ada sebuah gua di dekat sini yang dapat mengabulkan permintaanmu, tetapi semua orang yang pernah masuk ke dalam gua itu kabarnya tidak pernah terlihat kembali sampai saat ini. Kupikir itu hanyalah sebuah dongeng belaka. Aku pun cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku, lalu pulang. Dalam perjalanan pulang, aku berpikir. Jika aku dapat menemukan gua itu, mungkin saja hidupku dapat berubah. Aku muak dengan kehidupan ini. Aku ingin menjadi orang lain yang memiliki paras cantik dan kaya, dengan begitu pasti aku akan sangat menikmati kehidupan ini.  Tiba-tiba saat aku sedang tenggelam dalam pikiranku, ada seekor kucing yang menghampiriku. Sayang sekali aku tidak membawa makanan karena aku tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan. Bosku tidak memberikan gaji bulan ini kepadaku karena aku kemarin melakukan kesalahan, yaitu tidak sengaja memecahkan piring karena licin. Sebagai hukumannya, gajiku akan diberikan bulan depan. Aku memandang kucing di depanku. Ketika aku hendak mengelusnya, ia malah berlari ke sebuah teman. Aku yang sedang membutuhkan teman bicara pun jadi mengejar kucing itu. Semakin kukejar, semakin jauh ia berlari sampai aku kelelahan. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Sepertinya, aku kehilangan kucing itu. Aku memandang sekeliling. Hanya ada pepohonan yang tinggi menjulang.  “Aku tersesat,” ucapku. Sekarang aku jadi menyesal karena telah mengejar kucing itu jauh-jauh begini. Tak ingin menyesal terlalu dalam, aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengamati sekitar sembari berharap untuk mendapatkan petunjuk arah jalan pulang. Dalam usahaku itu, aku malah menemukan sebuah gua. Aku menengadah ke langit. Hari sudah mulai gelap. Sepertinya akan berbahaya jika aku tetap berada di tengah hutan tanpa perlindungan, jadi aku pun masuk ke dalam gua itu. Di dalam gua itu, aku bisa melihat keberadaan cahaya yang menyilaukan, jauh di ujung sana. Aku sebagai manusia biasa tentu tak bisa menghindar dari rasa penasaran. Aku berjalan menghampiri cahaya itu. Rupanya, cahaya itu ditimbulkan oleh bongkahan beling sewarna emas yang memantulkan gemerlap bulan. Pikiran warasku memerintahkan aku untuk kembali ke luar, kembali mencari jalan pulang. Namun, tanganku telah bergerak dengan sendirinya untuk menyentuh kaca keemasan itu. Ketika aku memungut bongkahan itu, sekonyong-konyong gua tempat aku berada bergetar dengan kencang layaknya gempa bumi yang dahsyat. Aku cepat-cepat memasukkan cermin itu ke dalam saku bajuku dan berlari ke luar sebelum aku mati tertimbun bebatuan runtuhan gua. Nasib baik berpihak kepadaku, aku berhasil keluar dengan selamat, meski sekarang napasku terengah-engah. Sedikit sempoyongan, aku menghampiri sebuah pohon dan duduk bersandar pada batangnya. Kukeluarkan cermin yang tadi kuambil dari dalam gua dan kuamati dengan seksama.  Sembari terus mengamati kaca yang kini menampilkan pantulan wajahku, aku pun berpikir, “Andai saja aku bisa menjadi lebih cantik.” Cermin kecil itu tiba-tiba bersinar terang. Kedua mataku tak siap dengan kemunculan cahaya menyilaukan yang tiba-tiba itu. Aku memejamkan mata. Perlahan-lahan, setelah menunggu beberapa lama, aku membuka kembali mataku. Pantulan wajah jelek dalam cermin yang tadinya memanglah wajahku itu kini berubah menjadi sosok berparas cantik jelita. Aku mengerjapkan mata, tak percaya dengan apa yang kusaksikan saat ini. Apakah udara dingin di hutan telah membuat aku berhalusinasi? “Apakah ini… aku?” tanyaku, entah kepada siapa. Kutatap sedemikian lama pantulan wajah dalam cermin yang demikian rupawan itu sembari mencoba berbagai ekspresi wajah dan mengelus wajahku. Aku tak percaya ini. Rupanya ini sungguhan. Benar-benar aku. Aku tidak sedang berhalusinasi! Entah berapa lama yang kuhabiskan untuk menatap sosok jelita dalam cermin itu, karena rupanya matahari kini sudah mulai menampakkan dirinya. Pendar jingga di sudut langit itu menyadarkanku dari lamunan panjangku. Aku memandang sekeliling dan teringat akan realita bahwa aku masih tersesat, di dalam hutan. Kupastikan sekali lagi kejadian malam tadi dengan mengambil cermin emas itu dan bayangan dalam cermin itu masih sama. Aku berubah total! Aku bahkan tak dapat mengenali diriku lagi. Meski telah kuyakinkan berkali-kali, aku masih tak percaya dengan hal ini. Tapi, masalah yang lebih penting dari cermin itu adalah… Bagaimana caraku keluar dari hutan ini??! Aku beranjak dari tempatku beristirahat sepanjang malam. Kakiku melangkah membawaku berkeliling hutan dengan harapan bisa menemukan jalan pulang. Nyatanya, sampai pegal kedua kakiku berjalan, jalan pulang itu tak muncul juga. Di tengah kelelahan yang hamper membuatku menyerah itu, aku teringat lagi dengan cermin keemasan itu. Aku mengeluarkan kaca dan mendapat kesimpulan: mungkin kaca ini bisa mengabulkan permohonan. Aku pun membuat permohonanku, “Aku ingin memakan makanan enak.” Dalam sekejap, daging steak muncul di hadapanku. Aku sangat terkejut melihat hal itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam ketidakpercayaan, kucicipi daging steak itu. Pupilku melebar. Itu adalah makanan terlezat yang pernah kumakan dalam hidupku. Kusadari, rupanya kaca itu memang dapat mengabulkan permintaan. Aku pun mencoba menyebut permintaanku pada cermin itu. “Aku ingin kembali pulang,” ucapku. Bukannya bersinar seperti sebelumnya, kaca itu malah menjadi sangat panas hingga terasa membakar tanganku. Aku melempar kaca itu seketika. Ini aneh. Aku dapat membuat

Lost of Hope Read More »

Aturan yang Abadi

Aturan yang tercipta. Kian terlupakan. Banyaknya arus yang tercipta. Kian menghancurkan aturan. Tak sadar akan arus yang datang. Menghancurkan kisah yang di tetapkan. Kisah yang telah disiapkan dengan matang. Kian hangus perlahan. Di nanti untuk kembali. Tapi tak mau mengenali. Terjebak di ekspektasi. Tak terasa menghancurkan raga yang dikenali. Terhantam oleh keabadian ini. Tak sanggup untuk kembali lagi. Aturan ini akan tetap abadi. Namun kehidupan Insan ini tak abadi. ~ Mahatma

Aturan yang Abadi Read More »