Lost of Hope

Pada suatu hari, ada seorang wanita buruk rupa yang sangat mengidam-idamkan sebuah kecantikan karena selama ini ia yang buruk rupa selalu dikucilkan, dihina, dan dicaci maki oleh masyarakat, sedangkan yang memiliki kecantikan selalu dipuja-puja. Oleh karena itu, ia akan melakukan apa saja demi mendapatkan kecantikan itu. 

Ada legenda di negeri itu yang mengatakan bahwa di darkness forest terdapat sebuah gua yang dapat mengabulkan semua permintaanmu, tetapi setiap permintaan pasti memiliki bayaran yang sepadan. Wanita buruk rupa ini pun menemukan gua tersebut, tetapi sampai sekarang ia belum pernah ditemukan kembali.

 

***

 

Aku bernama Mary dan sekarang aku bekerja di bar untuk mencakupi kehidupanku. Apakah kamu kira aku adalah seorang bartender keren yang menyiapkan pesanan customer? Salah. Walaupun aku bekerja di bar, aku hanyalah seorang tukang bersih-bersih yang mencuci peralatan makan dan membereskan semua kekacauan yang terjadi di bar ini. Tidak jarang aku mendapatkan perlakuan kasar dari para customer atau bahkan dari rekan kerjaku sendiri. Yah, memang aku hanyalah seorang yang buruk rupa, yatim piatu, dan miskin. “Pantas saja aku mendapatkan perlakuan yang hina seperti itu,” pikirku. Aku masih bisa hidup sampai sekarang saja sudah menjadi suatu keajaiban bagiku.

Saat aku sedang membersihkan lantai di bar tempatku bekerja, aku tak sengaja mendengar bahwa budak milik pemilik bar ini mati karena bekerja terlalu berat. Itu merupakan hal yang biasa terjadi di sini. Kemudian orang-orang itu mengganti topik pembicaraan tentang sebuah legenda yang mengatakan bahwa ada sebuah gua di dekat sini yang dapat mengabulkan permintaanmu, tetapi semua orang yang pernah masuk ke dalam gua itu kabarnya tidak pernah terlihat kembali sampai saat ini. Kupikir itu hanyalah sebuah dongeng belaka. Aku pun cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku, lalu pulang.

Dalam perjalanan pulang, aku berpikir. Jika aku dapat menemukan gua itu, mungkin saja hidupku dapat berubah. Aku muak dengan kehidupan ini. Aku ingin menjadi orang lain yang memiliki paras cantik dan kaya, dengan begitu pasti aku akan sangat menikmati kehidupan ini. 

Tiba-tiba saat aku sedang tenggelam dalam pikiranku, ada seekor kucing yang menghampiriku. Sayang sekali aku tidak membawa makanan karena aku tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan. Bosku tidak memberikan gaji bulan ini kepadaku karena aku kemarin melakukan kesalahan, yaitu tidak sengaja memecahkan piring karena licin. Sebagai hukumannya, gajiku akan diberikan bulan depan. Aku memandang kucing di depanku. Ketika aku hendak mengelusnya, ia malah berlari ke sebuah teman. Aku yang sedang membutuhkan teman bicara pun jadi mengejar kucing itu. Semakin kukejar, semakin jauh ia berlari sampai aku kelelahan. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Sepertinya, aku kehilangan kucing itu.

Aku memandang sekeliling. Hanya ada pepohonan yang tinggi menjulang. 

“Aku tersesat,” ucapku.

Sekarang aku jadi menyesal karena telah mengejar kucing itu jauh-jauh begini. Tak ingin menyesal terlalu dalam, aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengamati sekitar sembari berharap untuk mendapatkan petunjuk arah jalan pulang. Dalam usahaku itu, aku malah menemukan sebuah gua. Aku menengadah ke langit. Hari sudah mulai gelap. Sepertinya akan berbahaya jika aku tetap berada di tengah hutan tanpa perlindungan, jadi aku pun masuk ke dalam gua itu.

Di dalam gua itu, aku bisa melihat keberadaan cahaya yang menyilaukan, jauh di ujung sana. Aku sebagai manusia biasa tentu tak bisa menghindar dari rasa penasaran. Aku berjalan menghampiri cahaya itu. Rupanya, cahaya itu ditimbulkan oleh bongkahan beling sewarna emas yang memantulkan gemerlap bulan. Pikiran warasku memerintahkan aku untuk kembali ke luar, kembali mencari jalan pulang. Namun, tanganku telah bergerak dengan sendirinya untuk menyentuh kaca keemasan itu.

Ketika aku memungut bongkahan itu, sekonyong-konyong gua tempat aku berada bergetar dengan kencang layaknya gempa bumi yang dahsyat. Aku cepat-cepat memasukkan cermin itu ke dalam saku bajuku dan berlari ke luar sebelum aku mati tertimbun bebatuan runtuhan gua. Nasib baik berpihak kepadaku, aku berhasil keluar dengan selamat, meski sekarang napasku terengah-engah. Sedikit sempoyongan, aku menghampiri sebuah pohon dan duduk bersandar pada batangnya. Kukeluarkan cermin yang tadi kuambil dari dalam gua dan kuamati dengan seksama. 

Sembari terus mengamati kaca yang kini menampilkan pantulan wajahku, aku pun berpikir, “Andai saja aku bisa menjadi lebih cantik.”

Cermin kecil itu tiba-tiba bersinar terang. Kedua mataku tak siap dengan kemunculan cahaya menyilaukan yang tiba-tiba itu. Aku memejamkan mata. Perlahan-lahan, setelah menunggu beberapa lama, aku membuka kembali mataku. Pantulan wajah jelek dalam cermin yang tadinya memanglah wajahku itu kini berubah menjadi sosok berparas cantik jelita. Aku mengerjapkan mata, tak percaya dengan apa yang kusaksikan saat ini. Apakah udara dingin di hutan telah membuat aku berhalusinasi?

“Apakah ini… aku?” tanyaku, entah kepada siapa.

Kutatap sedemikian lama pantulan wajah dalam cermin yang demikian rupawan itu sembari mencoba berbagai ekspresi wajah dan mengelus wajahku. Aku tak percaya ini. Rupanya ini sungguhan. Benar-benar aku. Aku tidak sedang berhalusinasi!

Entah berapa lama yang kuhabiskan untuk menatap sosok jelita dalam cermin itu, karena rupanya matahari kini sudah mulai menampakkan dirinya. Pendar jingga di sudut langit itu menyadarkanku dari lamunan panjangku. Aku memandang sekeliling dan teringat akan realita bahwa aku masih tersesat, di dalam hutan. Kupastikan sekali lagi kejadian malam tadi dengan mengambil cermin emas itu dan bayangan dalam cermin itu masih sama. Aku berubah total! Aku bahkan tak dapat mengenali diriku lagi. Meski telah kuyakinkan berkali-kali, aku masih tak percaya dengan hal ini. Tapi, masalah yang lebih penting dari cermin itu adalah… Bagaimana caraku keluar dari hutan ini??!

Aku beranjak dari tempatku beristirahat sepanjang malam. Kakiku melangkah membawaku berkeliling hutan dengan harapan bisa menemukan jalan pulang. Nyatanya, sampai pegal kedua kakiku berjalan, jalan pulang itu tak muncul juga. Di tengah kelelahan yang hamper membuatku menyerah itu, aku teringat lagi dengan cermin keemasan itu. Aku mengeluarkan kaca dan mendapat kesimpulan: mungkin kaca ini bisa mengabulkan permohonan.

Aku pun membuat permohonanku, “Aku ingin memakan makanan enak.”

Dalam sekejap, daging steak muncul di hadapanku. Aku sangat terkejut melihat hal itu. Semuanya terjadi begitu cepat. Dalam ketidakpercayaan, kucicipi daging steak itu. Pupilku melebar. Itu adalah makanan terlezat yang pernah kumakan dalam hidupku. Kusadari, rupanya kaca itu memang dapat mengabulkan permintaan. Aku pun mencoba menyebut permintaanku pada cermin itu.

“Aku ingin kembali pulang,” ucapku.

Bukannya bersinar seperti sebelumnya, kaca itu malah menjadi sangat panas hingga terasa membakar tanganku. Aku melempar kaca itu seketika. Ini aneh. Aku dapat membuat permintaan apa saja, tapi tidak bisa meminta untuk pulang. Kusimpulkan aku memang benar-benar tersesat di dalam hutan. 

Aku tidak menyerah, aku terus meng-eksplore hutan itu hingga 3 hari lamanya. Pada akhirnya, kutemukan lagi gua yang sama dengan yang kutemukan saat pertama kali tiba di hutan. Aku memasuki gua itu dan menemukan secarik kertas yang mengatakan bahwa ia menyesal telah mengambil cermin emas itu dan mengatakan bahwa ia terkurung selamanya di dalam imaginary world

History repeat itself. Saat itu aku sadar apa yang terjadi.

Semua ini hanyalah khayalan belaka. Aku terjebak dalam dunia ini. Aku tidak akan bisa kembali. Selama ini aku hanya berkhayal. Tidak ada permohonanku yang nyata. Aku tidak akan bisa pulang. Aku akan mati di sini.

History repeat itself.

TAMAT

Oleh: Safina Rahma XI-1

(Picture by Evandrawprints)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *